Gunung Kidul – Desa Nglanggeran di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, semakin dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil kakao berkualitas di Indonesia. Dengan luas perkebunan mencapai 10,5 hektare atau sekitar 4.000 pohon kakao, desa ini mampu memproduksi hingga 20 ton kakao per tahun.
Namun, menurut Ahmad Nasrodin, pemilik Omah Kakao, rata-rata petani di desa ini hanya memiliki lahan sekitar 2 hektare dengan jumlah pohon kakao sekitar 7.000 pohon. Kondisi ini membuat petani sulit sejahtera jika hanya bergantung pada penjualan biji kakao mentah. Oleh karena itu, inovasi dalam pengolahan kakao menjadi produk bernilai tinggi menjadi kunci peningkatan kesejahteraan mereka.
Dari Biji Kakao ke Produk Coklat: Transformasi Omah Kakao Doga
Sejak 2017, Ahmad Nasrodin mulai mengolah hasil panen kakao menjadi berbagai produk coklat siap konsumsi di bawah merek Omah Kakao Doga.
“Dulu kami hanya menjual biji kakao kering. Namun, setelah diolah, nilai jualnya meningkat drastis,” ujarnya.
Perbedaan harga memang sangat signifikan. Jika harga biji kakao mentah hanya sekitar Rp 2.000 per kilogram, maka setelah melalui proses fermentasi, harganya bisa mencapai Rp 60.000 per kilogram. Selain itu, kakao juga dapat diolah menjadi produk turunan bernilai tinggi, seperti:
Bubuk coklat: 3 kg biji kakao menghasilkan 1 kg bubuk coklat, dengan harga jual Rp 250.000 per kilogram.
Lemak coklat: 5 kg biji kakao menghasilkan 700 gram lemak coklat, dengan harga jual Rp 175.000 per kilogram.
Meski demikian, Ahmad mengakui bahwa pasar coklat di Yogyakarta masih terbatas. Untuk memperluas jangkauan, mereka terus berinovasi dengan menciptakan produk seperti ampyang coklat dan brownies coklat, yang lebih sesuai dengan selera masyarakat lokal.
Coklat Gunung Kidul Tembus Pasar Internasional
Selain berkembang di pasar lokal, kakao fermentasi dari Gunung Kidul juga mulai menarik perhatian pasar internasional. Salah satu produk unggulan mereka, Cokelat Monnier, kini sudah dipasarkan ke luar negeri.
Setiap minggu, minimal 10 kilogram coklat dikirim ke buyer internasional dengan harga Rp 60.000 per kilogram. Ahmad menegaskan bahwa mereka tidak keberatan bekerja sama dengan pembeli asing, asalkan produk tetap mencantumkan label “Gunung Kidul” sebagai daerah asalnya.
Desa Devisa: Langkah Besar Kakao Gunung Kidul ke Pasar Global
Melihat potensi besar ini, pada Mei 2023, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) menetapkan Desa Nglanggeran sebagai Desa Devisa.
Program ini merupakan hasil kerja sama antara Kemenkeu Satu (Kementerian Keuangan, PT SMF, dan LPEI) dengan Koperasi Amanah Doga Sejahtera untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi desa dan kesejahteraan petani kakao. Program ini tidak hanya memberikan dukungan finansial, tetapi juga pelatihan prosedur ekspor serta pendampingan dari para ahli.
Seperti pakar ekspor dari Ditjen Bea dan Cukai serta ahli kakao dari desa devisa binaan LPEI di Jembrana, Bali.
Desa Devisa Gunung Kidul juga mendapatkan pendampingan, dengan target memperkenalkan brand Kakao Gunung Kidul ke pasar global. (*)