Teror terhadap Tempo: Siapa yang Takut pada Jurnalisme Kritis?

Serangkaian teror terhadap Tempo bukan hanya serangan terhadap sebuah media, tetapi juga ancaman nyata bagi kebebasan pers di Indonesia. Setelah dikirimi paket berisi kepala babi, kini redaksi Tempo kembali diteror dengan bangkai tikus yang dipenggal. Dua simbol yang sarat makna ini mengisyaratkan pesan kebencian yang lebih dalam—upaya menakut-nakuti mereka yang berani mengungkap kebenaran.

Lalu, pertanyaannya: siapa yang begitu ketakutan terhadap jurnalisme kritis?

Ancaman yang Tidak Boleh Diremehkan

Jurnalisme adalah pilar demokrasi. Dalam fungsinya sebagai pengawas kekuasaan, media memiliki tugas untuk mengungkap ketidakadilan, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang. Ketika ada pihak yang merasa terancam oleh kerja jurnalistik, sering kali mereka memilih jalan pintas: intimidasi, kekerasan, atau teror psikologis seperti yang kini dialami Tempo.

Namun yang lebih mencengangkan adalah sikap santai yang ditunjukkan oleh Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi. Bukannya mengecam aksi ini dan memastikan investigasi yang serius, ia justru meremehkan teror tersebut. Pernyataannya yang menyarankan agar kepala babi dimasak dan menyebut insiden ini “tidak perlu dibesar-besarkan” adalah bentuk pelecehan terhadap kebebasan pers dan memperlihatkan minimnya empati terhadap para jurnalis yang bekerja di bawah ancaman nyata.

Sikap seperti ini berbahaya. Ketika pejabat publik meremehkan tindakan teror terhadap media, mereka secara tidak langsung memberi ruang bagi pelaku untuk terus melancarkan intimidasi. Jika insiden ini dianggap remeh, maka apa jaminan bahwa ancaman serupa tidak akan terjadi lagi, bahkan dengan skala yang lebih besar?

Siapa yang Anti-Jurnalisme Kritis?

Serangan terhadap Tempo seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Siapakah mereka yang merasa terganggu dengan jurnalisme investigatif? Apakah mereka para oligarki yang terancam kepentingannya? Ataukah ini berasal dari lingkaran kekuasaan yang risih dengan transparansi dan kritik?

Fakta bahwa target utama dari teror ini adalah jurnalis politik yang vokal semakin menguatkan dugaan bahwa ada pihak tertentu yang tidak ingin publik mengetahui kebenaran. Alih-alih membantah kritik dengan data dan fakta, mereka memilih jalan kotor untuk membungkam suara yang mengganggu kepentingan mereka.

Jurnalisme Tidak Akan Mati

Mereka yang mengirim kepala babi dan tikus mungkin berharap jurnalis akan takut dan menghentikan pekerjaannya. Namun sejarah telah membuktikan bahwa jurnalisme kritis tidak bisa dibungkam dengan teror. Tempo, dan media independen lainnya, akan terus menjalankan tugasnya untuk mengungkap fakta.

Namun, jurnalisme tidak bisa berjuang sendiri. Masyarakat harus ikut bersuara, menolak segala bentuk intimidasi terhadap media. Jika kita membiarkan teror semacam ini terjadi tanpa perlawanan, maka kita sedang memberi ruang bagi kekuasaan yang anti-kritik untuk semakin leluasa menekan kebebasan berbicara.

Saat ini, semua perhatian tertuju pada kepolisian. Apakah mereka akan menunjukkan komitmen terhadap kebebasan pers dengan mengusut tuntas kasus ini? Ataukah mereka akan membiarkan ini berlalu, membuka jalan bagi lebih banyak ancaman di masa depan? (Ep)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *