Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kredit perbankan senilai triliunan rupiah. Mereka adalah Iwan Setiawan Lukminto (ISL), Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) periode 2014–2023 yang kini menjabat Komisaris Utama; Zainuddin Mappa (ZM), Direktur Utama PT Bank DKI Jakarta tahun 2020; serta Dicky Syahbandinata (DS), pejabat PT Bank BJB yang menjabat sebagai Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial di tahun yang sama.
Ketiganya resmi ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung selama 20 hari terhitung sejak 21 Mei hingga 9 Juni 2025.
“Tersangka DS, Tersangka ZM, dan Tersangka ISL dilakukan penahanan Rutan selama 20 (dua puluh) hari ke depan, di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung sejak tanggal 21 Mei 2025 sampai dengan tanggal 9 Juni 2025,” ungkap Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus), Abdul Qohar, pada Rabu malam (21/5/2025).
Kredit Melawan Hukum Picu Kerugian Negara
Abdul Qohar mengungkapkan, para tersangka terlibat dalam pemberian kredit secara melawan hukum dari sejumlah bank pemerintah kepada Sritex dengan nilai total outstanding atau tagihan belum lunas hingga Oktober 2024 mencapai Rp3,58 triliun.
Rincian tagihan sebagai berikut:
- Bank Jateng: Rp395.663.215.800
- Bank BJB, Bank Banten, dan Bank Jabar: Rp543.980.507.170
- Bank DKI: Rp149.785.018,57
- Bank Sindikasi (BNI, BRI, LPEI): Rp2,5 triliun
Di luar itu, Sritex juga memperoleh pinjaman dari 20 bank swasta lainnya yang turut memperbesar beban utang perusahaan.
“Jadi ini ada keganjilan dalam satu tahun mengalami keuntungan yang sangat signifikan, kemudian tahun berikutnya juga mengalami kerugian yang sangat signifikan,” ujar Abdul Qohar, menyoroti anomali laporan keuangan Sritex.
Tahun 2020, Sritex mencatatkan keuntungan Rp1,24 triliun. Namun, setahun kemudian (2021), perusahaan tekstil terbesar itu justru merugi hingga US$1,008 miliar atau Rp15,65 triliun.
Pemberian kredit kepada Sritex oleh ZM dan DS dinilai tidak mengikuti analisa dan prosedur perbankan yang layak. Berdasarkan lembaga pemeringkat Moody’s, Sritex hanya mendapatkan peringkat BB-, yang berarti memiliki risiko tinggi gagal bayar. Padahal, kredit tanpa agunan hanya bisa diberikan kepada debitur berperingkat A.
“Yang seharusnya dilakukan sebelum diberikan finalis kredit sehingga perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan standar operasional prosedur Bank serta Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan sekaligus penerapan prinsip kehati-hatian,” terang Abdul Qohar.
Parahnya, dana kredit yang diberikan kepada Sritex justru disalahgunakan.
“Bahwa pada saat ISL selaku Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk mendapatkan dana dari PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat, Banten dan PT Bank DKI Jakarta terdapat fakta hukum bahwa dana tersebut tidak dipergunakan sebagai tujuan dari pemberian kredit yaitu untuk modal kerja tetapi disalahgunakan untuk membayar hutang dan membeli aset non-produktif sehingga tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya,” tegasnya.
Macet dan Tak Bisa Dieksekusi
Akibat penyimpangan ini, kredit yang dikucurkan kini masuk dalam kategori macet (kolektibilitas 5) dan aset perusahaan tidak dapat dieksekusi untuk menutupi kerugian negara karena nilainya lebih kecil dari pinjaman serta tak dijadikan agunan.
“Bahwa kredit yang diberikan oleh PT Bank pembangunan Daerah Jawa Barat, Banten dan PT Bank DKI Jakarta kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk saat ini macet dengan kol lima dan aset perusahaan tidak bisa dieksekusi untuk menutupi nilai kerugian negara karena nilai lebih kecil dari nilai pemberian pinjaman kredit serta tidak dijadikan sebagai jaminan atau agunan,” ungkap Abdul Qohar.
Sudah Pailit, Masih Diberi Kredit
Lebih mengejutkan, Pengadilan Niaga Semarang telah menyatakan Sritex pailit melalui putusan nomor 2/PDT.SUS/homologasi/2024/PN Niaga Semarang. Namun, pemberian kredit justru tetap dilakukan setelah status hukum tersebut.
“Bahwa akibat adanya pemberian kredit setelah mohon hukum tersebut yang dilakukan oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat, Banten dan PT Bank DKI Jakarta kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk telah mengakibatkan adanya kerugian pembangunan negara dari total nilai outstanding atau target yang belum dilunasi sebesar Rp3,58 triliun,” tandasnya. (Ep)