Yogyakarta – Meskipun terpisah ribuan kilometer dan memiliki perbedaan budaya serta bahasa yang signifikan, Indonesia dan negara-negara Timur Tengah memiliki kedekatan relasional yang kuat, terutama dalam bidang diplomasi dan solidaritas politik luar negeri. Kedekatan ini tercermin dari konsistensi sikap Indonesia dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina dan stabilitas kawasan Timur Tengah.
Hal tersebut menjadi pokok bahasan utama dalam pidato pengukuhan Prof. Dr. Dra. Siti Mutiah Setiawati, M.A. sebagai Guru Besar Geopolitik Timur Tengah dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM), yang digelar di Balai Senat Gedung Pusat UGM pada Kamis (19/6).
Dalam pidatonya berjudul “Konsistensi Politik Luar Negeri Indonesia terhadap Timur Tengah: Antara Nilai Normatif dan Rasionalitas Geopolitik”, Prof. Siti menekankan bahwa dukungan Indonesia terhadap Palestina tidak hanya bersifat simbolik, tetapi didasari oleh prinsip-prinsip yang kuat dalam politik luar negeri.
“Pertama, dan yang paling utama, adalah prinsip bebas-aktif. Prinsip ini mencerminkan pemikiran tentang bagaimana Indonesia harus bersikap dalam menghadapi situasi persaingan internasional antara Blok Barat dan Blok Timur, yakni dengan tidak memihak salah satu pihak, tetapi tetap aktif dalam upaya penyelesaian berbagai permasalahan internasional,” ungkapnya.
Tiga Pilar Politik Luar Negeri Indonesia
Prof. Siti menguraikan bahwa Indonesia memiliki tiga prinsip utama dalam politik luar negeri:
- Prinsip bebas-aktif, sebagai pilar utama yang menempatkan Indonesia netral namun aktif dalam urusan internasional.
- Amanat Konstitusi, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan” dan “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
- Good Neighbour Policy atau kebijakan bertetangga baik, yang menekankan pentingnya hubungan damai dengan negara-negara lain.
Dukungan Konsisten terhadap Palestina dan Tantangan Diplomasi
Menurutnya, meskipun Indonesia tidak memiliki konflik langsung dengan negara-negara di Timur Tengah, dukungan terhadap Palestina tetap dijalankan secara konsisten, baik dalam bentuk bantuan kemanusiaan maupun diplomasi multilateral.
“Kondisi hari ini di Palestina semakin mencemaskan dan sudah masuk ke dalam tahap genosida,” tegasnya.
Namun, Prof. Siti juga mencatat bahwa dukungan ini tidak lepas dari tantangan. Perpecahan antara kelompok pejuang Palestina seperti Hamas dan Fatah, serta kuatnya dukungan Amerika Serikat terhadap Israel, menjadi penghalang besar bagi resolusi konflik.
“Indonesia dituntut memahami posisi geografis serta dinamika kedua kekuatan ini agar dukungan yang diberikan tidak salah arah. Indonesia juga mengalami kesulitan dalam upaya mendamaikan kedua kelompok tersebut demi menghadapi tantangan bersama dari Israel,” imbuhnya.
Kritik terhadap Ketidakkonsistenan Negara Arab
Dalam pidatonya, Prof. Siti juga menyoroti lemahnya solidaritas negara-negara Arab dalam mendukung Palestina. Liga Arab dinilai tidak memiliki integritas kolektif yang kuat, bahkan beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, dan Bahrain justru telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
“Normalisasi hubungan dengan Israel cenderung meningkat setelah adanya Abraham Accord pada tahun 2020,” ujarnya.
Ia juga menyayangkan bahwa perundingan antara pihak Arab dan Israel tidak pernah secara eksplisit membahas isu kemerdekaan Palestina sebagai poin utama penyelesaian konflik.
Peran Diplomasi Indonesia: Tegas, Bebas, dan Aktif
Indonesia terus menunjukkan komitmennya melalui berbagai jalur diplomasi—baik bilateral, regional, maupun multilateral. Meskipun respon dari negara-negara veto holder tidak signifikan, Prof. Siti menegaskan bahwa rekam jejak diplomasi Indonesia menjadi catatan penting dalam perjuangan global melawan penjajahan.
“Prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif terbukti menjadi pedoman untuk tidak terjebak dalam arus geopolitik internasional yang tidak menentu arah dan tujuannya,” pungkasnya.
Indonesia telah mengakui kemerdekaan Palestina sejak 1988, tak lama setelah deklarasi sepihak yang disampaikan Yasser Arafat. Sikap ini menjadi fondasi kuat bagi konsistensi Indonesia dalam menolak penjajahan dan memperjuangkan perdamaian dunia. (Yud)