Yogyakarta – Isu perbatasan maritim di Laut Sulawesi, khususnya terkait Blok Ambalat, kembali menjadi sorotan publik. Setelah sempat memanas pada 2005, persoalan ini muncul lagi dan memicu perbincangan tentang akar sejarah sengketa.
Menurut Dr. I Made Andi Arsana, Dosen dan Kepala Program Studi Magister Teknik Geomatika Universitas Gadjah Mada (UGM), permasalahan Ambalat berawal dari penetapan batas darat antara Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan pada masa kolonial. Saat itu, Inggris yang menguasai Malaysia dan Belanda yang menguasai Hindia Belanda hanya menetapkan batas hingga titik akhir di pantai, tanpa melanjutkannya ke laut.
Akibatnya, hingga kini pembagian ruang laut di Laut Sulawesi belum memiliki kesepakatan final.
Awal Mula Klaim Sepihak
Pada awalnya, Indonesia mengusulkan agar garis batas darat itu diteruskan lurus ke timur di Lintang 4°10’, sehingga wilayah di selatannya menjadi milik Indonesia. Namun, usulan ini hanya bersifat sepihak.
Sejak 1960-an, kedua negara mulai mengeluarkan klaim masing-masing:
- Indonesia menetapkan blok-blok konsesi migas, termasuk pada 1966 dan 1970.
- Malaysia memprotes peta Indonesia, lalu menerbitkan Peta Batu 1979, yang dikritik Indonesia dan Filipina karena dianggap melebar melebihi batas wajar.
Munculnya Nama “Ambalat”
Nama Ambalat pertama kali digunakan pada 1999 ketika Indonesia menetapkan sebuah blok dasar laut untuk eksplorasi migas. Pada 2004, wilayah ini diperluas dengan Blok Ambalat Timur.
Ketegangan memuncak pada 2005 ketika Malaysia memberikan konsesi ND6 dan ND7 yang tumpang tindih dengan blok Indonesia. Perselisihan ini memicu insiden patroli laut yang sempat meningkatkan suhu politik kedua negara.
Akar Perbedaan Pandangan
Perundingan formal mulai dilakukan pada 2005. Perbedaan utamanya terletak pada status Pulau Sipadan dan Ligitan, yang berdasarkan putusan Mahkamah Internasional kini menjadi milik Malaysia.
- Indonesia menganggap kedua pulau ini hanya pulau kecil yang berhak atas laut teritorial sejauh 12 mil, sehingga batas maritim seharusnya lebih dekat ke Malaysia.
- Malaysia tetap berpegang pada klaim Peta Batu 1979, yang memberi mereka wilayah laut jauh lebih luas.
Perbedaan ini menciptakan zona tumpang tindih yang mencakup Blok Ambalat, Ambalat Timur, ND6, dan ND7.
Dr. Andi menyebut ada dua opsi utama:
- Kesepakatan Garis Batas Final – Menetapkan batas maritim permanen yang disetujui kedua negara.
- Kerja Sama di Wilayah Sengketa – Mengelola sumber daya bersama tanpa menghapus klaim masing-masing. Opsi ini pernah dibicarakan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.
Di akhir penjelasannya, Dr. Andi menekankan pentingnya hubungan harmonis antara Indonesia dan Malaysia.
“Apapun yang terjadi, Indonesia dan Malaysia tidak boleh pecah. Bangsa serumpun ini harus selalu rukun,” ujarnya. (Yud)
