Yogyakarta – Gelombang demonstrasi yang dipimpin generasi Z (Gen Z) di Nepal menarik perhatian dunia internasional. Aksi ini bukan hanya reaksi atas pembatasan media sosial, tetapi juga wujud akumulasi kemarahan terhadap ketidakadilan sosial-ekonomi yang kian menumpuk.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Faturochman, M.A., menilai fenomena ini dapat dipahami melalui perspektif psikologi sosial, khususnya teori deprivasi relatif. Menurutnya, protes besar-besaran anak muda Nepal lahir dari rasa ketidakadilan akibat kesenjangan sosial yang mencolok.
“Deprivasi relatif terjadi ketika masyarakat membandingkan hidupnya dengan pejabat yang serba mewah. Ketimpangan inilah yang memicu rasa tidak adil,” ujar Faturochman, Selasa (16/9).
Ia menambahkan, selain itu juga terdapat deprivasi absolut, yakni kondisi ketika masyarakat benar-benar kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. “Kedua kondisi ini muncul bersamaan, diperkuat oleh kelompok vokal yang berani bersuara, sehingga demonstrasi menjadi tak terhindarkan,” jelasnya.
Media Sosial, Pemicu dan Penyalur Kemarahan
Faturochman juga menyoroti langkah pemerintah Nepal yang sempat membatasi penggunaan media sosial. Menurutnya, kebijakan tersebut hanya bersifat sementara dan justru menambah frustrasi publik.
“Alih-alih meredam, pemblokiran malah memperbesar kemarahan karena suara masyarakat tidak tersalurkan,” tegasnya.
Dengan akses informasi yang luas, terutama di kota besar seperti Kathmandu, anak muda tetap menemukan cara untuk menyalurkan kritik, baik di ruang digital maupun dengan turun ke jalan.
Karakter Gen Z dan Perlawanan Sosial
Fenomena keterlibatan Gen Z dalam demonstrasi ini, menurut Faturochman, erat kaitannya dengan karakter generasi tersebut. Meski sering dipandang lemah atau mudah menyerah, kenyataannya Gen Z menunjukkan keberanian luar biasa melawan ketidakadilan.
“Gen Z terbiasa dengan informasi dan teknologi. Mereka tahu kondisi yang dihadapi tidak adil, sehingga semakin terdorong untuk turun ke jalan,” paparnya.
Selain itu, kebutuhan akan pengakuan juga membuat sebagian Gen Z berani mengekspresikan sikapnya di ruang publik. Dibanding generasi milenial yang cenderung lebih terstruktur, Gen Z lebih spontan dalam menunjukkan identitas diri. “Ketika mereka diremehkan atau diinjak, responnya muncul secara langsung,” tambahnya.
Meski mengapresiasi keberanian generasi muda, Faturochman mengingatkan pentingnya menjaga energi perlawanan agar tetap konstruktif. Ia menekankan perlunya dialog lintas generasi untuk mencegah protes berubah menjadi kekerasan destruktif.
“Anak muda harus didengar aspirasinya. Tidak harus selalu diterima, tetapi minimal dihargai. Dengan begitu, rasa saling percaya antar generasi bisa tumbuh,” ujarnya.
Krisis Kepercayaan Bisa Terjadi di Mana Saja
Dari fenomena Nepal, Faturochman menyimpulkan bahwa krisis kepercayaan pada pemerintah dapat muncul kapan saja jika kesenjangan sosial-ekonomi terus dibiarkan. Generasi muda dengan energi dan keberaniannya bisa menjadi agen perubahan sekaligus pengingat bahwa tujuan utama kekuasaan politik adalah menghadirkan kesejahteraan rakyat. (Yud)