Peta Pertarungan Teknologi Global

Oleh: Yudah Prakoso

Senin pagi yang cerah menjadi pembuka percakapan yang tidak biasa. Di saat udara Jogja mulai menghangat, aku justru terlibat dalam diskusi mendalam tentang geopolitik teknologi—semuanya bermula dari sepiring sarapan sederhana: nasi pulen dengan ayam dan telur rebus bumbu tongseng yang kubuat sendiri.

Suapan ketiga baru saja masuk ketika layar ponsel menyala. Grace Sofia Reyes, jurnalis Filipina yang tinggal di Sydney—yang akrab kupanggil Menyèng—menelepon lewat video call. Wajah bangun tidurnya muncul di layar, rambut acak-acakan, dan suasana kamar minimalisnya terlihat samar.

Kamu lagi makan apa? Wangi banget kayaknya,” ujarnya sambil mengucek mata.

Ayam dan telur rebus bumbu tongseng, homemade,” jawabku, masih dengan sendok di tangan.

Namun percakapan ringan itu berubah tajam ketika ia menyebut, “Aku mimpi buruk… tentang geopolitik.” Sebagai jurnalis media mainstream internasional, ia memang sedang intens meliput perang dagang dan persaingan teknologi AS–China.

Pertarungan Raksasa di ‘Medan Tak Terlihat’

Grace menjelaskan bagaimana persaingan dua negara adidaya itu telah bergeser dari sekadar perang dagang menuju perebutan dominasi standar teknologi global.

Medan perang sesungguhnya bukan di etalase toko, tapi di badan standardisasi internasional seperti ITU,” katanya.

Ia membeberkan data yang baru dibacanya: Huawei menguasai 12–15% paten esensial 5G global, menjadikannya pemain yang mampu menentukan “gerbang tol ekonomi” masa depan. Negara atau perusahaan yang ingin menggunakan teknologi tersebut harus siap membayar.

“Ini bukan lagi soal harga murah,” tambahnya. “Ini soal siapa yang memegang standar teknis dunia.

Regulasi Yang Menjadi Senjata 

Diskusi merambah ke kebijakan Amerika Serikat. Grace menyebut CHIPS Act bernilai 280 miliar dolar AS bukan sekadar subsidi industri semikonduktor, melainkan langkah strategis untuk memutus ketergantungan rantai pasokan dari China dan Taiwan. Begitu juga dengan Uni Eropa, di mana GDPR yang lahir untuk melindungi data pribadi justru berubah menjadi pagar tinggi bagi pemain non-Eropa akibat tingginya biaya kepatuhan.

Setiap negara memakai regulasinya sebagai perisai, bahkan senjata,” katanya.

Sementara ia berbicara, aku menikmati kuah tongseng yang gurih-manis. Kontras rasanya: satu sisi dunia sedang dipenuhi miliaran dolar, paten, dan regulasi; sisi lainnya, meja makan kecilku terasa damai.

Bagaimana Perusahaan Bisa Bertahan?

Ketika kutanyakan bagaimana perusahaan—termasuk di Asia—dapat bertahan dalam atmosfer yang kian menekan ini, Grace menjelaskan tiga strategi utama:

1. Aliansi lintas batas

Contohnya TSMC yang mendiversifikasi pabrik ke Arizona dan Jerman untuk mengurangi risiko geopolitik di Taiwan.

2. Desain modular

Model manufaktur fleksibel seperti diterapkan oleh Novo Nordisk, yang memungkinkan adaptasi cepat terhadap regulasi berbeda di berbagai negara.

3. Memanfaatkan keunggulan lokal (yang paling krusial)

Perusahaan seperti Gojek dan Grab tidak unggul karena teknologi yang super canggih, melainkan karena memahami void institusional dan kondisi pasar lokal di Asia Tenggara.

Perusahaan lokal bisa menjadikan fragmentasi pasar sebagai kekuatan. Itu kuncinya,” tegasnya.

Grace kemudian kembali menurutkan energi. “Sudahlah, aku malah ngelantur. Semangat sarapan ya,” katanya sambil menguap sebelum menutup video call.

Telepon terputus. Aku kembali menatap sarapan yang mulai mendingin: nasi, ayam, dan telur rebus bumbu tongseng.

Di tengah pertarungan standar 5G, CHIPS Act, dan strategi geopolitik yang mengatur arus teknologi dunia, aku menemukan satu hal yang tetap: kenyamanan sederhana yang menjadi jangkar dalam riuh kompleksitas global.

Geopolitik mungkin menentukan siapa yang menang di pasar dunia, tetapi di meja makan pagi itu, aku adalah pemenangnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *