Siti Hinggil Keraton Solo: Saksi Bisu Geger Pecinan dan Takhta Raja

Surakarta – Salah satu bagian terpenting di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Siti Hinggil, menyimpan sejarah panjang yang menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting, mulai dari kerusuhan besar Geger Pecinan hingga ritual penobatan raja. Secara harfiah, Siti Hinggil berarti Tanah yang Tinggi (Siti = tanah, Hinggil = tinggi).

Asal-Usul dan Fungsi Historis

Bangunan bersejarah ini diperkirakan didirikan pada masa pemerintahan SISKS Paku Buwono (PB) III, sekitar tahun Jawa 1701 atau 1774 Masehi, setelah pemindahan pusat Kerajaan Mataram dari Kartasura ke Solo. Pemindahan ini terjadi pasca-hancurnya Keraton Kartasura akibat Geger Pecinan pada tahun 1742, sebuah pemberontakan besar yang dipimpin oleh Sunan Kuning (Raden Mas Garendi) sebagai perlawanan terhadap Pakubuwono II yang dianggap berpihak kepada VOC.

Siti Hinggil memiliki peran sentral dalam upacara kerajaan. Salah satu fungsi utamanya adalah sebagai tempat raja menampakkan diri kepada rakyat saat ada peristiwa kenegaraan dan merupakan lokasi utama untuk penobatan (jumenengan) raja.
Di kawasan Siti Hinggil, terdapat beberapa bangunan penting, di antaranya:

  • Bangsal Sewoyono: Bangsal utama yang dibangun pada era Pakubuwono X, digunakan untuk upacara-upacara besar.
  • Bangsal Marakata: Digunakan sebagai tempat Abdi Dalem Bupati Lebet bertemu raja atau untuk mewisuda Abdi Dalem Panewu Mantri.

Selain fungsi seremonial, konon Siti Hinggil juga memiliki dimensi spiritual, diyakini sebagai tempat raja bermeditasi dan bertemu dengan sosok legendaris Nyi Ratu Kidul.

Meriam Nyai Setomi

Meriam Sakral dan Simbol Perlawanan

Kawasan Siti Hinggil juga dijaga oleh pusaka penting, yaitu Meriam Nyai Setomi yang disakralkan. Di ujung timur, terdapat pula meriam Mahesa Kumali atau meriam Kadal Buntung, yang memiliki nilai sejarah karena pernah digunakan dalam peristiwa Geger Pecinan. Keberadaan meriam-meriam ini menegaskan peran Siti Hinggil sebagai benteng dan simbol pertahanan kerajaan.

Secara keseluruhan, Siti Hinggil adalah cagar budaya yang tak hanya menjadi tumpuan bagi tradisi Keraton Solo, tetapi juga monumen yang merefleksikan dinamika politik dan sejarah perlawanan di Jawa pada abad ke-18. (Yud)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *