Hari Monyet Sedunia, Aktivis Mendesak Penghentian Perdagangan Monyet di Yogyakarta

Yogyakarta – Memperingati Hari Monyet Sedunia yang jatuh pada 14 Desember, belasan aktivis dari Aksi Peduli Monyet, Animal Friends Jogja (AFJ), dan masyarakat sipil menggelar aksi publik di kawasan Titik 0 Kilometer Yogyakarta. Aksi ini menjadi ruang penyadaran publik atas masih maraknya perdagangan monyet dan satwa liar lain yang berlangsung secara terbuka di sejumlah pasar hewan di Yogyakarta, di tengah minimnya perlindungan hukum bagi spesies tersebut.

Sekitar 15 peserta aksi menyuarakan keprihatinan terhadap posisi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang hingga kini belum masuk dalam daftar satwa dilindungi. Padahal, spesies ini telah ditetapkan sebagai Endangered atau genting oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) akibat perburuan dan menyusutnya habitat alami.

Ketiadaan payung hukum yang tegas, terutama karena monyet ekor panjang belum tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018, dinilai membuat praktik perdagangan dan eksploitasi sulit ditindak. Kondisi ini membuka ruang bagi berbagai bentuk pemanfaatan yang merugikan satwa, mulai dari pemeliharaan ilegal, pembuatan konten eksploitatif, hingga praktik topeng monyet yang masih dijumpai.

Perwakilan Aksi Peduli Monyet, Angelina Pane, menegaskan perlunya langkah konkret dari pemerintah daerah.
“Sudah saatnya Pemerintah DIY menerbitkan peraturan daerah yang secara tegas melarang perdagangan monyet. Ini bukan semata soal etika terhadap satwa liar, tetapi juga berkaitan dengan kesehatan publik karena adanya risiko zoonosis,” ujarnya.

Menurut Angelina, persepsi monyet sebagai satwa yang lucu dan layak dipelihara justru menutup fakta risiko penularan penyakit, seperti tuberkulosis, Herpes B, rabies, hingga parasit yang dapat berdampak langsung pada manusia. Ia juga mengingatkan bahwa monyet memiliki peran ekologis penting sebagai penyebar biji yang mendukung regenerasi hutan.

“Apa yang kita hadapi hari ini, termasuk berbagai bencana ekologis, seharusnya menjadi pengingat bahwa relasi manusia dengan alam dan satwa liar perlu dibangun secara lebih adil dan bertanggung jawab,” tambahnya.

Dalam aksi tersebut, Aksi Peduli Monyet dan AFJ turut melibatkan seniman pantomim Wanggi Hoed. Melalui pertunjukan tubuh, Wanggi menghadirkan refleksi tentang monyet ekor panjang yang kerap diposisikan sebagai komoditas hiburan dan objek kekerasan. Gerak pantomimnya menggambarkan relasi timpang antara manusia, pawang topeng monyet, dan penonton yang selama ini menikmati praktik tersebut.

“Tubuh menjadi medium terakhir untuk menyuarakan mereka yang tak punya suara. Lewat pantomim, saya mencoba memperpanjang suara monyet ekor panjang yang selama ini tenggelam oleh arus hiburan dan konten media sosial,” ujar Wanggi.

Ia menilai seni memiliki peran penting untuk mengajak publik berhenti menormalisasi kekerasan terhadap satwa liar yang telah berlangsung lama.

Aksi ini juga terhubung dengan praktik seni Angki Purbandono, yang sepanjang Desember 2025 menggelar open studio bertajuk (Membaca) Topeng Monyet di Cemeti Institute. Melalui karya tersebut, Angki mengajak publik membaca ulang topeng monyet sebagai artefak budaya yang dahulu dianggap hiburan, namun kini perlu dipahami sebagai praktik yang sarat eksploitasi terhadap satwa. (Yud)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *