Menimbang Suksesi Kraton Yogyakarta: Antara Kesetiaan pada Paugeran dan Tuntutan Modernisasi

Oleh : Yudah Prakoso

Isu suksesi kepemimpinan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pasca-era Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X menjadi perbincangan hangat dipicu oleh dualisme dalam suksesi Kraton Solo pasca mangkatnya Paku Buwono XIII.

Transisi kepemimpinan ini dinilai krusial karena posisi Sultan yang secara otomatis menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Transformasi Hukum dan Peran Putri Mahkota

Langkah strategis Sri Sultan HB X melalui Sabda Raja dan Dhawuh Raja pada 2015 telah menjadi fondasi utama transformasi ini. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY, hambatan gender dalam persyaratan calon Gubernur telah dihapuskan.

Penetapan GKR Mangkubumi sebagai Putri Mahkota menandai pergeseran signifikan. Perubahan gelar Sultan dari Khalifatullah menjadi Bawono ditafsirkan para pengamat sebagai transisi dari kepemimpinan maskulin menuju kepemimpinan yang lebih universal. Sultan sendiri menegaskan bahwa Kraton harus adaptif: “Kraton harus tetap hidup, bukan sekadar menjadi museum yang statis.”

Regalia dan Tantangan Paugeran

Suksesi ini bukan sekadar pergantian jabatan politik, melainkan perpindahan Regalia (benda-benda pusaka Kanjeng Kyai Ageng) yang membawa otoritas spiritual. Namun, langkah ini menghadapi resistensi dari faksi Rayi Dalem (adik-adik Sultan) yang memegang teguh Paugeran—konstitusi tidak tertulis Kraton—bahwa takhta merupakan hak keturunan laki-laki (patrilineal).

Para ahli hukum adat memperingatkan bahwa tanpa rekonsiliasi internal, perbedaan penafsiran Paugeran ini berisiko memicu krisis legitimasi yang dapat berdampak pada stabilitas sosial di Yogyakarta.

Akuntabilitas dan Semangat Pelayanan

Isu suksesi ini juga menuntut akuntabilitas tinggi, selaras dengan semangat transparansi.

Besarnya tanggung jawab Sultan sebagai Gubernur memerlukan mekanisme verifikasi formal di DPRD DIY untuk menjamin kepastian hukum sesuai UUK DIY.

Di sisi lain, masyarakat menaruh harapan besar agar Sultan berikutnya tetap memegang teguh filosofi Ngayomi, Ngayemi, Ngayani.

Menuju Sejarah Baru

Jika transisi berjalan mulus, Yogyakarta berpotensi mencatatkan sejarah dengan lahirnya Sultanah pertama. Keberhasilan suksesi ini akan sangat bergantung pada sinkronisasi antara hukum negara (UUK DIY), pengakuan atas pemegang Regalia, dan kemampuan kepemimpinan baru dalam merangkul tradisi di tengah arus modernisasi.

Transisi ini diharapkan tidak hanya menjaga kelestarian budaya, tetapi juga memastikan tata kelola pemerintahan yang akuntabel demi kesejahteraan rakyat Yogyakarta.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *