Benowo Tantang Pihak Lain yang Ingin Jadi Raja Solo untuk Berikrar di Watu Gilang

“Silakan kalau mau mengikrarkan diri di situ, monggo. Tapi kalau ada apa-apa ya tanggung sendiri,”

Surakarta – Memanasnya perebutan takhta Keraton Kasunanan Surakarta memasuki babak baru. KGPH Benowo, adik mendiang SISKS Pakubuwana XIII, melontarkan tantangan terbuka kepada siapa pun yang ingin mendeklarasikan diri sebagai Raja Solo.

Ia mempersilakan berbagai pihak mengklaim diri, tetapi menegaskan bahwa tempat yang benar-benar sah dan sakral untuk mengikrarkan sumpah raja hanyalah di Watu Gilang, batu bersejarah yang sejak lama menjadi penanda legitimasi kekuasaan Mataram.

Pernyataan Benowo ini muncul sebagai respons atas klaim suksesi dari figur lain, termasuk KGPH Hangabehi. Menurutnya, sejak masa leluhur, raja yang sah selalu melalui prosesi sumpah di Watu Gilang—tradisi yang tidak hanya simbolis, tetapi diyakini memiliki konsekuensi spiritual yang berat.

“Silakan kalau mau mengikrarkan diri di situ, monggo. Tapi kalau ada apa-apa ya tanggung sendiri,” ujar Benowo.

Ia menegaskan bahwa proses penobatan SISKS Pakubuwono XIV (Gusti Purboyo) juga didahului sumpah di Watu Gilang. Dengan demikian, tradisi ini tetap menjadi “penyaring terakhir”, layaknya memilah pisang unggulan dari tandan besar—yang matang, kuat, dan benar-benar layak untuk menjadi pemimpin.

Lebih Tua Tidak Selalu Menjadi Raja

Di tengah memanasnya perebutan legitimasi, isu bahwa putra tertua otomatis berhak menjadi raja kembali mencuat. Benowo langsung membantah anggapan itu.

“Lebih tua bukan berarti harus jadi raja. Bapak saya (PB XII) juga bukan yang tertua, anak bontot. Pakubuwono X juga bukan yang tertua,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa penentuan penerus takhta adalah hak pribadi raja sebelumnya dan merupakan keputusan yang diyakini “hasil dialog antara sang raja dan Tuhan”, bukan semata hitungan umur.

Benowo juga menolak anggapan-anggapan lain, termasuk klaim Raja Ad Interim maupun status tertentu yang pernah disandangkan pada KGPH Tedjowulan. Menurutnya, seluruh legitimasi itu sudah tidak relevan dalam konteks suksesi pasca wafatnya PB XIII.

Ketegangan Keluarga Keraton Kian Terasa

Pernyataan keras ini menunjukkan kedalaman konflik suksesi di lingkungan kerabat Keraton Surakarta. Situasi semakin sensitif setelah digelarnya Jumenengan Dalem Nata Binayangkare SISKS Pakubuwono XIV, yang semakin menegaskan kubu Purbaya sebagai raja terpilih.

Seiring klaim-klaim baru bermunculan, pesan Benowo kembali mengingatkan pentingnya tradisi sebagai fondasi, seperti filosofi sederhana di dapur Jawa: pisang yang baik biasanya terpilih bukan karena paling besar atau paling tua, tetapi karena paling matang dan siap dipersembahkan. (Yud)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *