Sabtu sore itu terasa berat, bukan hanya karena mendung yang menggelayuti langit Surakarta, tetapi karena beban kisah yang dibawa oleh Ndalem Purbodipuran. Rumah kuno dengan arsitektur joglo khas Jawa itu menyambut saya dengan keheningan yang menyesakkan, hanya ditemani gemerisik dedaunan sawo kecik dan pohon kepel di pekarangan.
Saya datang lagi, setelah beberapa kali desakan via WA call yang selalu dijawab singkat oleh Raden Mas Purbodipuro: “Situasi belum kondusif, Mas. Jangan dulu dibahas.”
Namun, ketegasan saya untuk datang bahkan setelah tahu berita dualisme sudah tersebar luas di media akhirnya meluluhkan beliau. Saya tahu, RM Purbodipuro adalah salah satu sentana dalem sepuh yang memegang teguh paugeran (aturan keraton), namun juga menyadari bahwa tradisi harus berhadapan dengan realitas politik modern.
Beliau menerima saya di pendopo yang temaram. Udara dingin bercampur dengan aroma daun dan kembang kanthil, menciptakan suasana sakral sekaligus muram. Di atas meja , terhidang teh wangi panas yang mengepul tipis.
“Duduk, Mas. Saya harap kedatanganmu bukan untuk memantik api, tapi untuk mencari air,” sambut beliau, suaranya parau dan bergetar, seolah membawa beban puluhan tahun sejarah.
“Saya hanya ingin mendengar perspektif kejernihan, Rama Purbodipuro,” jawab saya, menggunakan sapaan hormat. “Berita di luar sungguh mencekik. Bagaimana mungkin satu Keraton memiliki dua Paku Buwono XIV?”
RM Purbodipuro menyeruput tehnya perlahan. Matanya yang tajam menatap kosong ke tiang penyangga utama pendopo, seolah melihat bayangan sejarah Keraton Surakarta yang selalu terbelah sejak era Geger Pecinan.
“Kami membicarakan masalah… perbenturan tak terhindarkan antara paugeran dan pragmatisme politik, Mas,” katanya, meletakkan cangkir dengan suara berdentang kecil.
“Yang terjadi saat ini adalah tragedi suksesi. Bukan hanya soal siapa yang lebih tua, atau lebih disayangi mendiang Sinuhun. Ini tentang cara mendapatkan dan mempertahankan legitimasi.”
Beliau memulai analisisnya dari pihak yang bergerak cepat.
“Lihatlah KGPH Purbaya,” kata beliau, nadanya mengandung campuran kekaguman dan kecemasan. “Ia adalah putra bungsu dari pernikahan yang lebih muda, namun tindakannya sangat cerdik, cepat, dan terorganisir. Jumenengan pada 15 November, hanya sepuluh hari setelah wafatnya Sinuhun. Itu bukan sekadar penobatan, itu adalah pernyataan politik.”
“Mengapa harus secepat itu, Rama?” tanya saya.
“Untuk menciptakan fakta, Mas. Untuk mendahului klaim pihak lain. Juru bicara mereka, GKR Timoer Rumbaikusuma, menegaskan komitmen pada negara dan modernitas. Itu cara mereka memenangkan opini publik dan pengakuan eksternal. Dan yang paling krusial: pembentukan bebadan atau kabinet pada 19 November.”
RM Purbodipuro mengusap dahinya. “Kabinet itu adalah kunci. Dengan menggabungkan unsur akademisi dan profesional, mereka menunjukkan niat untuk mengelola Keraton secara modern, bukan hanya simbolik. Mereka mengatakan, ‘Kami punya struktur, kami bekerja, kami bertanggung jawab.’ Ini adalah legitimasi melalui tindakan dan konsolidasi. Bagi mereka, menunda penobatan hanya akan membuka celah negosiasi yang melemahkan.”
“Lalu ada KGPH Mangkubumi,” lanjut beliau, suaranya melembut, seolah berpihak. “Beliau putra tertua dari istri kedua. Secara paugeran, ia adalah pewaris yang sah. Kubu keluarga inti—para adik mendiang Sinuhun dan KGPA Tedjowulan sebagai Maha Menteri—memberikan pengukuhan resmi. Itu adalah legitimasi garis darah.”
“Tapi ia memilih fokus pada masa berkabung 40 hari. Kenapa tidak langsung jumenengan untuk melawan Purbaya?”
“Itu adalah permainan politik yang lebih tinggi, Mas. Perlawanan melalui keheningan dan kepatutan. Dengan menolak buru-buru menobatkan diri, Gusti Mangkubumi menunjukkan ia menghormati tradisi berkabung. Ia mengklaim moralitas dan paugeran Keraton. Ingat apa kata Gusti Moeng? ‘Gusti Bei yang kini PB XIV tidak meminta untuk dilahirkan lebih tua. Itu kehendak Allah.’ Kalimat ini menegaskan bahwa tahta adalah takdir, bukan hasil manuver politik.”
“Jika Purbaya mengklaim legitimasi melalui kecepatan, Mangkubumi mengklaim legitimasi melalui kepatutan dan tradisi suksesi. Ia memaksa publik untuk bertanya: mana raja yang lebih beradab dan sesuai aturan leluhur? Ia menunggu momentum moral.”
“Jadi, intinya adalah dua raja yang sama-sama merasa benar,” simpul saya.
RM Purbodipuro mengangguk getir. “Dan itulah masalah yang paling mengerikan. Keraton hanya punya satu Kasunanan. Hanya punya satu Bumi Mataram. Ini bukan hanya soal gelar, Mas. Ini soal pengelolaan aset budaya dan hubungan Keraton dengan Pemerintah. Siapa yang berhak menandatangani surat-surat penting? Siapa yang berhak mewakili Keraton di mata negara dan dunia?”
Beliau mencondongkan tubuhnya, menatap saya intens. “Jika dualisme ini berlarut-larut, Keraton Solo akan kehilangan wibawa, aset-asetnya bisa terancam, dan yang terpenting, tata kelola kebudayaan Jawa terhenti. Inilah momen krusial yang akan menentukan apakah kita menuju rekonsiliasi matang yang menghormati tradisi sambil merangkul modernitas, atau justru perpecahan yang tak tersembuhkan.”
Saya hanya bisa menghela napas panjang, meresapi ketegangan antara “tindakan” dan “paugeran.”
Teh saya sudah benar-benar dingin, seolah ikut membeku merenungkan nasib yang menggantung.
Saat saya pamit, RM Purbodipuro berdiri. “Pulanglah, Mas. Hati-hati di jalan. Kabarkanlah bahwa di dalam tembok Keraton, yang berjuang bukan hanya dua putra Sinuhun, tetapi juga arwah para leluhur yang menginginkan satu matahari bertahta.”
Di luar Ndalem Purbodipuran, langit telah sepenuhnya gelap. Saya meninggalkan Surakarta dengan perasaan hampa dan menyadari bahwa di balik berita politik yang cepat, terdapat luka sejarah dan perpecahan keluarga yang sangat mendalam.
Pikiran dan perasaan saya hanyut terbawa suasana. Lampu-lampu Kota Solo berpendar seperti seribu kunang-kunang. (*)
