Yogyakarta – Dari Fakultas Farmasi UGM, lahir seorang peneliti muda bernama Eka Noviana yang menorehkan prestasi membanggakan. Ia masuk daftar World’s Top 2% Scientist versi Stanford University, berkat riset inovatifnya sebuah alat deteksi cepat berbasis kertas atau paper-based analytical device (PAD), yang mampu mendeteksi sesuatu seperti bahan berbahaya, obat, atau apa pun di berbagai jenis sampel, dengan cara mudah dan murah.
Riset inilah yang mengantarkan Eka masuk dalam daftar ilmuwan top dunia versi Stanford University yang dirilis bersama Elsevier. Stanford menilai lebih dari 200.000 peneliti dari berbagai bidang di seluruh dunia, lalu mengelompokkan mereka berdasarkan dua kategori: lifetime achievement dan single year impact. Ia termasuk dalam World’s Top 2% Scientist tahun 2025, kategori single year impact, artinya peneliti dengan dampak riset tertinggi dalam satu tahun terakhir.
Saat namanya muncul dalam daftar prestisius itu, Eka yang juga seorang dosen di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengaku sempat tak percaya. Ia merasa masih terlalu muda dan terlalu baru di dunia penelitian untuk disejajarkan dengan nama-nama besar dari seluruh dunia.
“Sangat bersyukur sekali, agak kaget juga karena sebagai peneliti kan masih pemula,” ucap Eka kepada awak media di Fakultas Farmasi UGM, Sabtu (11/10/2025).
Perjalanan Eka di dunia sains tak bisa dilepaskan dari pengalamannya menempuh pendidikan di luar negeri. Ia merupakan lulusan S2 dan S3 dari University of Arizona, Amerika Serikat. Sekembalinya ke Indonesia, ia membawa semangat untuk mengadaptasi ilmu itu ke konteks lokal. membuat alat yang bisa digunakan masyarakat tanpa perlu laboratorium besar, tanpa listrik, dan dengan biaya murah.
“Kita membuat alat deteksi itu lebih aksesibel, baik dari segi biaya maupun segi fasilitas, jadi yang tidak butuh alat besar, tidak butuh dicolokin ke listrik, bisa dibawa ke lapangan,” ujarnya.
Yang membuat riset Eka menarik bukan hanya teknologinya, tapi juga filosofinya yang membumi. Ia percaya bahwa ilmu pengetahuan tidak seharusnya hanya berhenti di jurnal ilmiah atau konferensi akademik. Ilmu, kata Eka, harus kembali ke masyarakat. Pandangan itu pula yang mendorongnya terus mengembangkan perangkat deteksi portabel, ramah pengguna, dan ekonomis, konsep yang kini banyak diadopsi oleh komunitas riset di berbagai negara berkembang.
“Kita coba mengembangkan metode yang bisa digunakan langsung di lapangan, harapannya cukup ramah digunakan oleh pengguna yang tidak punya background lab,” tutur Eka.
Di tengah banyaknya tantangan dunia riset di Indonesia, dari keterbatasan fasilitas hingga pendanaan, kisah Eka membuktikan bahwa riset berkualitas tidak selalu butuh peralatan mahal, tapi keberanian untuk berpikir sederhana dan bermanfaat. (An)