Yogyakarta – Uni Eropa mulai melonggarkan penerapan regulasi anti-deforestasi atau European Deforestation Regulation (EUDR), memberi ruang bagi negara-negara mitra seperti Indonesia untuk mempersiapkan diri. Langkah ini disambut sebagai momentum penting bagi Indonesia dalam memperkuat transisi menuju tata kelola hutan yang lebih adil, bertahap, dan berkelanjutan.
Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan bahwa Uni Eropa bersedia memberi relaksasi terhadap EUDR. Menanggapi hal ini, Prof. Ahmad Maryudi, pakar kebijakan kehutanan UGM, menyebut bahwa relaksasi ini adalah “bagian dari proses diplomasi yang wajar”.
Menurutnya, meskipun relaksasi ditawarkan, Indonesia tidak boleh gegabah dalam menyesuaikan diri dengan standar baru tanpa persiapan matang.
“Kita tidak bisa menolak arus regulasi global, tapi kita bisa dan harus mengatur irama kita sendiri. Supaya transisinya adil, tidak memberatkan petani kecil, dan tetap menjaga keberlanjutan hutan,” katanya.
Ahmad juga menjelaskan bahwa EUDR merupakan kelanjutan dari European Union Timber Regulation (EUTR) yang dulu berfokus pada mencegah perdagangan kayu ilegal. Saat itu, Indonesia menjadi negara pertama dan satu-satunya yang memiliki sistem legalitas kayu, yakni SVLK, yang diakui Uni Eropa.
Menurutnya, Indonesia bahkan menjadi negara paling sukses menjalankan skema Voluntary Partnership Agreement (VPA), dan SVLK berhasil lolos uji kelayakan dari UE. Namun, tetap saja mekanisme due diligence dari pihak importir Eropa membuka celah bagi kayu dari negara lain masuk tanpa sertifikasi formal.
Pemberlakuan EUDR kini membawa konsekuensi lebih luas. Tidak hanya pada legalitas, tetapi juga menyangkut asal usul lahan dan dampaknya terhadap tutupan hutan. “Seperti di Indonesia contohnya mereka memperluas cakupan, bukan hanya kayu, tapi juga sawit, kopi, kakao, hingga daging dan kedelai,” ujarnya.
Hal ini menandai pergeseran besar dari legalitas ke keberlanjutan. Standar baru EUDR dinilai lebih kompleks, ketat, dan multi-komoditas. Jika dijalankan dengan baik, EUDR bisa menjadi peluang untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam Indonesia.
“Kalau benar-benar diimplementasikan dengan baik, regulasi ini bisa memperbaiki cara kita mengelola produksi kayu dan komoditas lainnya agar lebih bertanggung jawab,” imbuh Ahmad.
Namun di sisi lain, Maryudi mengingatkan bahwa regulasi ini bisa menjadi beban berat, terutama bagi pelaku usaha kecil. Sekitar 50% produksi sawit Indonesia berasal dari petani kecil, dan untuk kopi serta kakao bisa mencapai 90–100%. “Ini sistem yang costly (mahal). Bahkan perusahaan besar saja belum tentu langsung siap. Apalagi petani kecil yang punya keterbatasan teknis dan finansial. Mereka jelas akan terdampak,” katanya.
Meski Uni Eropa bukan pasar utama semua komoditas, posisi politiknya tetap penting. Ahmad mengingatkan bahwa standar dari UE bisa memicu regulasi serupa di negara lain.
“Uni Eropa sering jadi trend-setter regulasi global. Kalau mereka menetapkan standar, negara lain biasanya ikut menyesuaikan. Jadi meskipun pangsa pasarnya tidak dominan, kita tetap harus waspada karena tren globalnya mengarah ke sana,” pungkasnya. (Yud)