Gagasan Pertanian hingga Kapitalisme: Buku Sosial Demokrasi Jadi Ruang Diskusi di Yogyakarta

Yogyakarta – Pembahasan mendalam mengenai buku Sosial Demokrasi karya almarhum Imam Yudotomo menjadi fokus utama Seminar Kemitraan yang difasilitasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, Kamis (4/12/2025). Buku setebal hampir 700 halaman itu kembali diangkat ke publik karena dinilai menyimpan gagasan penting mengenai demokrasi, pembangunan, dan dinamika sosial yang relevan dengan kondisi saat ini.

Seminar berlangsung di lantai dua Gedung DPRD DIY, Jalan Malioboro, sebagai bentuk kemitraan antara lembaga legislatif dan masyarakat. Acara ini menarik perhatian para seniman, aktivis, pemerhati budaya, jurnalis senior, hingga masyarakat umum yang memenuhi ruangan.

Keterlibatan DPRD DIY dan Peserta Lintas Komunitas

Anggota DPRD DIY, Dr Hj Yuni Satia Rahayu SS M Hum, membuka kegiatan tersebut. Ia berharap diskusi buku seperti ini semakin diminati oleh generasi muda agar ruang gagasan tidak didominasi kalangan senior.

“Mudah-mudahan semakin banyak anak muda yang mengikuti diskusi. Bukan hanya kita yang tua-tua yang berdiskusi,” ujar Yuni, yang juga menjabat Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DIY sekaligus Ketua Bapemperda.

Yuni didampingi dua narasumber utama: Halim HD, seorang pemikir kebudayaan, dan Osmar Tanjung, aktivis yang lama mengenal almarhum Imam Yudotomo. Diskusi dipandu oleh moderator Sinta Herindrasti.

Ia menegaskan bahwa hasil diskusi akan disampaikan kepada Gubernur DIY sebagai bentuk kontribusi pemikiran masyarakat terhadap pembangunan daerah.

“Mudah-mudahan kegiatan ini memberi arti bagi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta,” tambahnya.

Membedah Pemikiran Imam Yudotomo

Diskusi kemudian mengarah pada isi buku Sosial Demokrasi. Meski jarang menulis di media massa, Imam Yudotomo ternyata meninggalkan kumpulan tulisan yang kaya analisis sosial, ekonomi, hingga persoalan pertanian.

Halim HD mengaku terkejut dengan banyaknya pemikiran Imam yang terdokumentasi dalam buku tersebut.

“Sepanjang pengetahuan saya, rasanya saya belum pernah membaca tulisan-tulisan Mas Imam di media massa,” ucap Halim.

Ia menilai buku tersebut tidak banyak mengulas perspektif kebudayaan dan kesenian. Namun, justru kekhasan buku ini terletak pada pendekatan langsung seorang aktivis yang terjun ke masyarakat. Halim menyarankan agar pada cetakan ulang nanti, kronologi penulisan dapat dilacak lebih detail untuk memperlihatkan konteks sejarah.

Sementara itu, Osmar Tanjung menyoroti kuatnya pembahasan Imam mengenai dinamika kapitalisme dan sosialisme. Menurutnya, sepanjang ada kontradiksi, pertentangan antara dua paham itu akan selalu muncul dalam berbagai aspek pembangunan.

“Memang, sama kayak Mas Halim, saya terkejut dengan tulisan ini. Saya nggak nyangka dia menulis,” ujarnya.

Relevansi Sosial Demokrasi dengan Kondisi Kekinian

Imam Yudotomo, aktivis kelahiran Yogyakarta tahun 1941, dikenal aktif dalam berbagai organisasi. Meski pernah belajar di ITB, Unair, dan UGM namun tidak menyelesaikan studi, gagasan-gagasannya tetap dianggap bernilai tinggi, terutama dalam membaca relasi antara rakyat, negara, dan kekuatan kapital.

Osmar menilai beberapa bagian buku sangat relevan dengan situasi saat ini, terutama saat bencana ekologis kembali melanda Indonesia. Ia menyinggung tulisan pada halaman 291 yang membahas bagaimana kapitalisme merusak hutan, sebuah realitas yang kembali terasa lewat banjir besar yang menimpa Sumatera.

Baik Halim maupun Osmar sepakat bahwa pemikiran Imam Yudotomo dapat menjadi dorongan penting bagi pengembangan sosial demokrasi, terutama sebagai landasan bagi arah kebijakan pembangunan yang lebih berpihak pada masyarakat. (Yud)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *