Semarang – Tradisi Saparan kembali menggema meriah di Dusun Tolokan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Selama tiga hari berturut-turut, pada 16–18 Agustus 2025, suasana dusun berubah semarak. Rumah-rumah warga terbuka lebar, menyambut tamu dari berbagai daerah yang datang untuk ikut merasakan hangatnya tradisi penuh makna ini.
Saparan, yang dilaksanakan setiap bulan Sapar (bulan kedua dalam kalender Jawa), merupakan wujud rasa syukur masyarakat Jawa atas hasil bumi dan rezeki yang diterima. Namun, lebih dari sekadar ritual, Saparan juga sarat dengan nilai sosial dan spiritual, menjadi ajang mempererat tali silaturahmi antarsaudara dan antarperantau yang kembali ke kampung halaman. Bahkan, bagi warga Tolokan, kemeriahan Saparan tak kalah heboh dibanding Hari Raya Idulfitri.
Tamu Disambut dengan Keramahan
Di rumah Yanto, salah satu warga Tolokan, tawa riang para tamu terdengar tanpa henti. Dari kerabat dekat hingga saudara jauh, semua disambut dengan penuh keramahan. Hidangan tradisional tersaji di meja, mulai dari nasi, sayur lodeh, mangut ikan, dan berbagai lauknya hingga camilan khas desa.
“Setiap tahun, saya selalu menantikan Saparan. Ini bukan hanya soal makanan, tapi tentang kebersamaan dan rasa guyub yang masih terjaga,” ujar Yanto sambil melayani tamu yang terus berdatangan.

Tradisi ini juga mendapat perhatian dari Harun Sutopo, tokoh pemuda dan Ketua Umum Perkemi asal Salatiga, yang selalu hadir memenuhi undangan keluarganya di Tolokan. Menurut Harun, Saparan adalah wujud nyata kebersamaan lintas generasi dan daerah.
“Tradisi ini sangat penting untuk dilestarikan. Saparan bukan hanya bentuk rasa syukur, tapi juga memperkokoh persaudaraan. Kita bisa melihat nilai kebersamaan yang nyata di sini, bukan hanya antarwarga satu desa, tetapi juga lintas daerah,” ungkap Harun di sela acara.
Pesta Rakyat Penuh Warna
Selain ramah-tamah dan jamuan makan, Saparan di Tolokan juga dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan seni dan budaya. Ada pagelaran wayang dan doa bersama yang dipanjatkan sebagai simbol harapan agar rezeki dan persaudaraan terus mengalir.
Bagi masyarakat Tolokan, Saparan bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah jati diri dan kebanggaan bersama. Tradisi ini menjadi perekat yang membuat setiap warga merasa memiliki satu rumah besar di Tolokan.
“Semoga generasi muda terus menjaga dan meneruskan tradisi ini agar tidak hilang ditelan zaman,” harap Yanto mewakili suara hati warga. (Ep)