Kebijakan Taskshifting: Jawaban atas Krisis Spesialis di Wilayah Terpencil

Yogyakarta – Pelayanan kesehatan di daerah terpencil Indonesia masih menghadapi tantangan berat, mulai dari keterbatasan infrastruktur, minimnya tenaga medis, hingga sulitnya akses transportasi. Untuk menjawab persoalan ini, berbagai inisiatif telah digulirkan, seperti pelayanan kesehatan bergerak, telehealth, dan perluasan jaringan puskesmas. Namun, satu langkah kebijakan yang kini menjadi sorotan adalah taskshifting — pemindahan kewenangan medis dari dokter spesialis ke dokter umum.

Dalam diskusi kebijakan bertajuk “Pemberian Kompetensi Tertentu (Taskshifting) dari Dokter Spesialis ke Dokter (Umum)“, yang diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM pada Kamis, 15 Mei 2025, isu ini dikupas secara mendalam sebagai solusi potensial atas ketimpangan akses layanan spesialistik di tanah air.

Diskusi tersebut menghadirkan data mencengangkan: distribusi dokter spesialis di Indonesia sangat timpang. Berdasarkan data klaim BPJS Kesehatan (2015–2023), prosedur cathlab di Regional 1 (Pulau Jawa) telah mencapai klaim hingga Rp2 triliun sejak 2017. Sebaliknya, di Regional 5 (Papua dan Maluku), layanan serupa nyaris tidak berjalan. Ketimpangan ini juga terlihat pada rasio dokter spesialis mata: delapan provinsi masih berada di bawah rasio ideal 1:250.000 penduduk.

Baca juga : dr. Adam Hartono, Sp.P.D. Raih Lulusan Terbaik Dokter Spesialis FK UNS dengan IPK 3,95

Prof. Laksono Trisnantoro dari FK-KMK UGM menegaskan urgensi implementasi taskshifting:

“Kita perlu mengacu kembali pada konsep Taskshifting yang telah direkomendasikan WHO sejak 2008 untuk mengatasi kekurangan tenaga kesehatan,” ungkap Prof. Laksono.

“Taskshifting adalah pemindahan tugas tertentu dengan sepantasnya dari tenaga kesehatan berkualifikasi tinggi ke tenaga kesehatan dengan kualifikasi lebih rendah, dengan tujuan meningkatkan efisiensi penggunaan SDM kesehatan yang ada.”

Lebih lanjut, Prof. Laksono menyoroti bahwa ketiadaan regulasi taskshifting yang efektif selama ini telah menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan medis, terutama bagi masyarakat di daerah tertinggal.

“Ketiadaan kebijakan taskshifting yang efektif selama ini telah mengakibatkan ketidakadilan dan tragedi kemanusiaan dalam pelayanan kesehatan,” tegasnya. “Kondisi ini bertentangan dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diamanatkan Pancasila.”

Diskusi juga menyinggung keberhasilan beberapa program terdahulu seperti “Dokter Plus” (2011) dan Sister Hospital untuk Revolusi KIA di NTT (2009–2013), yang terbukti efektif menurunkan angka kematian ibu dan bayi melalui pendekatan taskshifting. Program ini mengirimkan residen senior spesialis Obsgin dan Anak ke kabupaten-kabupaten, menunjukkan hasil yang nyata dalam pelayanan kesehatan dasar dan lanjutan.

Baca juga : Kolegium Ditarik ke Pemerintah, Dokter UGM: Ini Bahaya!

Kini, harapan baru muncul seiring dengan disahkannya UU Kesehatan 2023, yang telah mengatur kerangka legal taskshifting secara lebih jelas. Prof. Laksono memaparkan bagaimana skemanya diatur dengan pendekatan bottom-up, yakni:

  1. Pemerintah daerah mengidentifikasi kekurangan tenaga spesialis tertentu
  2. Dokter umum di daerah dipilih untuk diberi kewenangan tambahan
  3. Pelatihan dilakukan sesuai standar kolegium dan diatur oleh KKI
  4. Dokter yang telah dilatih mendapat penugasan khusus dari negara
  5. Tindakan medis yang dilakukan dapat diklaim melalui BPJS

Meski demikian, tantangan ke depan masih besar, terutama pada sisi pemahaman, implementasi teknis, dan penerimaan oleh berbagai pihak. Namun, dengan sinergi kebijakan, pendidikan kedokteran, dan keberpihakan negara, taskshifting bisa menjadi jalan tengah yang revolusioner dalam menciptakan pemerataan layanan kesehatan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. (Yud)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *