Yogyakarta – Di tengah derasnya arus transformasi digital, kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjadi fenomena yang mengguncang dunia media. Teknologi ini menawarkan efisiensi luar biasa, tapi juga menimbulkan pertanyaan besar: mampukah AI menggantikan intuisi dan nurani wartawan?
Pertanyaan itu mengemuka dalam diskusi bertajuk “Media Talks: Masa Depan Jurnalisme di Era AI” yang digelar oleh Komdigi, Dewan Pers, dan Tirto.id di Hotel Harper Yogyakarta, Senin (6/10/2025), para pakar sepakat: AI adalah pisau bermata dua bagi profesi jurnalis.
Mantan Direktur Utama LPP RRI, Rosarita Niken Widiastuti, menyebut bahwa dunia media tengah berada dalam fase mediamorphosis—perubahan besar yang mengubah cara jurnalis bekerja. Menurutnya, AI bisa menjadi kekuatan besar yang membantu wartawan meningkatkan kualitas informasi.
“AI bisa menjadi kekuatan besar yang membantu jurnalis memperbaiki kualitas informasi. Kemampuannya mengolah dan menganalisis data dalam jumlah masif dapat membantu jurnalis menemukan pola, memahami tren, hingga menentukan target berita secara lebih cepat dan tepat,” ujar Rosarita.
Namun, di balik peluang besar itu, terdapat risiko yang tak bisa diabaikan. AI, kata Rosarita, tetaplah mesin, ia tak bisa membedakan antara kebenaran dan kebohongan jika data dasarnya keliru.
“AI tidak bisa membedakan mana hoaks dan mana fakta. Maka yang paling penting adalah memastikan jurnalis menulis berita yang valid dan berbasis data,” tegasnya.
Di tengah gempuran teknologi, tantangan terbesar justru datang dari integritas jurnalis itu sendiri. Data dari Dewan Pers menunjukkan bahwa pengaduan masyarakat terhadap media masih tinggi: 813 kasus pada 2023, 678 kasus pada 2024, dan 625 kasus hingga pertengahan 2025.
Bagi Rosarita, angka itu menjadi pengingat bahwa AI seharusnya digunakan untuk memperkuat kualitas berita, bukan menggantikan peran wartawan. “Angka ini menunjukkan bahwa tantangan integritas jurnalisme masih tinggi. Maka AI seharusnya menjadi tools untuk memperkuat kualitas berita, bukan menggantikan peran wartawan,” ujarnya menegaskan.
Sementara itu, Olivia Lewi Pramesi, dosen komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, melihat fenomena penggunaan AI di media Indonesia masih dalam tahap yang ia sebut sebagai “AI Hype” masa ketika teknologi sedang digandrungi, tetapi belum benar-benar dipahami secara mendalam.
Olivia mencatat, dari sekitar 1.800 media di Indonesia, 95 persen sudah mengetahui tentang AI. Namun, hanya enam media yang secara terbuka mengaku telah menggunakan teknologi ini dalam operasional mereka. Ia mencontohkan salah satu stasiun televisi nasional yang mencoba menggunakan AI dalam produksi berita, namun belum mendapat perhatian besar dari publik.
“Fenomena ini menunjukkan bahwa ada fluktuasi teknologi yang membutuhkan keberanian mengambil risiko,” jelas Olivia.
Dari diskusi tersebut, para pembicara sepakat bahwa masa depan jurnalisme tidak terletak pada mesin yang menggantikan manusia, melainkan pada kemampuan jurnalis beradaptasi dan memanfaatkan AI untuk mendukung kerja jurnalistik.
AI bisa menjadi mitra yang membantu wartawan menganalisis data, memahami tren, dan mempercepat produksi. Namun, nilai-nilai seperti etika, empati, dan kejujuran tetap menjadi hal yang tak tergantikan.
Jurnalis masa depan, dengan demikian, bukan sekadar mereka yang mampu menulis cepat, tapi mereka yang bisa menyatukan kecerdasan teknologi dengan kebijaksanaan manusia. (Yud)