Liberika namanya tak sepopuler arabika atau robusta, tetapi ia menyimpan daya tarik yang kuat dalam dunia perkopian. Dengan aroma tajam, rasa pahit khas, dan karakter buah-buahan tropis seperti nangka dan apel, kopi ini menjadi primadona yang mulai naik daun di kalangan penikmat kopi. Biji kopi liberika berwarna coklat tua hampir hitam, bentuknya asimetris khas dan lebih besar dari jenis kopi lainnya.
Asal-Usul Kopi Liberika
Kopi jenis Coffea liberica pertama kali tumbuh di daratan Afrika, khususnya di Liberia, Uganda, dan Angola. Liberika mulai populer di abad ke-19, saat wabah penyakit karat daun (coffee rust) menghantam perkebunan arabika. Sebagai respons terhadap kegagalan panen besar-besaran, liberika ditanam secara massal karena dinilai lebih tahan terhadap penyakit tersebut.
Di Asia Tenggara, Filipina menjadi negara pertama yang membudidayakan dan menjual liberika secara luas. Tak lama kemudian, Belanda membawa liberika ke Indonesia sekitar tahun 1870-an untuk menggantikan arabika yang rusak.
Perjalanan Liberika di Indonesia
Meski jumlahnya tak banyak, kopi liberika tetap tumbuh dan dikembangkan di berbagai daerah seperti Jambi, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan NTB.
Saat ini kopi liberika mulai dipopulerkan kembali diberbagai wilayah, seperti di Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, NTB, kopi liberika dikenal dengan nama lokal “Kahawa Nangga” yang berarti kopi nangka. Nama ini diambil dari cita rasanya yang menyerupai buah nangka matang. Sementara di Jambi, liberika memiliki profil rasa earthy, fermented tangerine, herbal, hingga apel—menunjukkan kuatnya pengaruh wilayah tanam dan proses pascapanen terhadap karakter kopi.
Kopi liberika memiliki keunikan rasa yang tak ditemukan pada jenis kopi lain. Dalam bentuk natural, ia menonjolkan aroma buah nangka, rasa woody (kayu), smoky (asap), serta body kopi yang tebal dan kompleks. Karena intensitas rasa dan aromanya, banyak yang menyeduh liberika dengan metode French press, pour over, atau mesin espresso agar rasa dan aromanya keluar secara maksimal.
Praktisi kopi dan pemilik Wangi-Wangi Coffee, Anambo Tono, mengatakan:
“Liberika itu kopi berkarakter sangat cocok untuk para penikmat kopi yang mencari sesuatu yang autentik.”
Tanaman liberika biasanya ditanam oleh petani kecil di lahan terbatas, yang membuat praktik panennya jauh lebih hati-hati. Meskipun hasil panennya lebih sedikit dibanding arabika atau robusta, petani liberika tetap bisa meraih keuntungan karena tingginya nilai jual dan permintaan pasar yang terus tumbuh.
Sekira tahun 2016 harga kopi di tingkat petani desa oi bura berkisar 21 – 24 ribu. Karena diminati penggemar kopi harga kopi liberika cenderung lebih mahal dibanding kopi arabica dan robusta. Bahkan saat ini 1 kg green beans liberika bisa di atas Rp.100.000.
Dengan kelangkaan dan cita rasa yang khas, tak heran bila liberika mulai dirayakan kembali. Kopi ini tak hanya sekadar minuman, melainkan cerita tentang warisan budaya dalam secangkir kopi. (Ep)