Sleman – Memedi sawah atau orang-orangan sawah, merupakan sosok yang dibuat menyerupai manusia dan diletakkan di tengah sawah dengan tujuan utama untuk menakuti burung atau hama lain agar tidak merusak tanaman padi. Secara tradisional, memedi sawah dibuat dari tumpukan jerami, kayu, atau kain bekas yang dibentuk menyerupai manusia dan sering dipakaikan baju bekas petani agar tampak nyata di mata hama.
Namun lebih dari sekadar alat pengusir burung, memedi sawah memiliki makna simbolis dalam budaya Jawa. Ia menjadi bagian dari sistem pertanian tradisional sekaligus ekspresi seni dan bentuk kecintaan masyarakat terhadap alam dan kehidupan agraris.
Di tengah derasnya modernisasi, keberadaan memedi sawah mulai tergeser. Banyak petani kini beralih menggunakan “para net” atau jaring plastik sebagai pengusir hama. Sayangnya, menurut seniman dan penggagas Festival Memedi Sawah, Budi Sarjono, “para net ini nggak enak dipandang, dan mengurangi nuansa sawah.”
“Festival ini sebenarnya untuk mengingat kembali bahwa memedi sawah sebagai alat pengusir hama pernah ada dan kini sudah punah, karena para petani menggantinya dengan para net,” ungkap Budi dalam pembukaan Festival Memedi Sawah, Minggu (29/6/2025).
Sebagai bentuk pelestarian, Komunitas Kalimasada di Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengadakan Festival Memedi Sawah yang menampilkan lebih dari 50 karya memedi sawah berbahan daur ulang. Acara ini digelar dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan dijadwalkan menjadi agenda tahunan.
Memedi sawah yang ditampilkan dibuat dari berbagai limbah rumah tangga dan bahan bekas, seperti pakaian lama, karung goni, plastik, hingga pecahan perabot rumah. Ada yang dibentuk menyerupai dhemit (makhluk halus), ibu-ibu bermain ayunan, hingga sosok humoris yang menghibur.
“Ini apapun harus kita lestarikan. Walaupun ini suatu bentuk kecil tapi bagaimana kalau kita budayakan. Memedi sawah ini juga budaya yang (terancam) hilang,” kata Budi Sarjono yang juga seorang sastrawan dan pelukis.
Lebih dari Sekadar Tradisi: Potensi Wisata dan Edukasi
Festival ini tak hanya menjadi ajang lomba kreativitas warga, tetapi juga menjadi peluang untuk mengangkat memedi sawah sebagai ikon wisata edukatif. Artha Pararta Dharma, Pendiri Yayasan Kalimasada, mengungkapkan harapannya agar memedi sawah bisa menjadi bagian dari daya tarik wisata yang berkelanjutan.
“Bagaimana kalau setiap sawah-sawah itu ada gerakan memedi sawah yang indah, jadi nanti bisa jadi pusat wisata, atau perhatian,” ujarnya.
Seluruh karya memedi sawah akan dipamerkan selama satu bulan penuh di lingkungan Yayasan Kalimasada. Masyarakat bisa datang untuk menyaksikan sekaligus belajar mengenai warisan budaya petani yang penuh filosofi ini.
Pergeseran Nilai: Dari Alat Pengusir Burung ke Media Ekspresi Seni
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. Aprinus Salam, menyoroti bahwa memedi sawah kini mengalami pergeseran makna. Dulu digunakan sebagai alat agraris, kini lebih berkembang menjadi media ekspresi seni yang merepresentasikan nilai, kritik sosial, dan kreativitas.
“Memedi sawah saat ini sudah mengalami pergeseran nilai, baik budaya maupun fungsi. Dari awalnya sebagai alat untuk mengusir hama burung menjadi, tapi sekarang menjadi ekspresi seni,” ujarnya.
Festival Memedi Sawah menjadi bukti bahwa budaya tradisional tak sekadar dapat dilestarikan, tetapi juga dikembangkan agar relevan dan menarik di tengah zaman modern. (Yud)