Menakar Kerapuhan di Balik Slogan “Istimewa”: Mengapa Yogyakarta Belum Siap Menerima Wisatawan

Oleh : Yudah Prakoso

Yogyakarta selalu dipasarkan sebagai kota dengan romansa tak berujung, tempat di mana setiap sudutnya menawarkan kenangan. Namun, jika kita mengupas lapisan citra “Istimewa” tersebut dan melihat realitas di lapangan, akan tampak sebuah kontradiksi yang mengkhawatirkan. Di balik arus jutaan wisatawan yang memadati jalanan setiap musim liburan, Yogyakarta sebenarnya sedang berteriak kelelahan.

Kota ini, dengan segala kompleksitas permasalahannya, menunjukkan tanda-tanda ketidaksiapan yang nyata dalam mengelola industri pariwisata yang masif. Ketidaksiapan ini berakar pada tata kota yang semrawut, kegagapan birokrasi, hingga degradasi moralitas pelayanan yang mengancam keberlanjutan masa depan pariwisatanya sendiri.

Masalah mendasar yang menjadi pilar ketidaksiapan ini adalah tata kota yang seolah kehilangan kompas. Yogyakarta saat ini terjebak dalam dilema antara mempertahankan arsitektur historis yang sempit dengan tuntutan modernisasi yang rakus lahan. Pembangunan hotel, apartemen, dan pusat perbelanjaan tumbuh bak jamur di musim hujan, namun sering kali tanpa dibarengi dengan analisis daya dukung lingkungan yang matang. Akibatnya, ruang publik semakin terhimpit. Wisatawan yang datang untuk mencari kenyamanan justru disuguhi pemandangan hutan beton yang tidak tertata, di mana ruang terbuka hijau semakin langka dan drainase kota sering kali gagal menampung air hujan, mengakibatkan genangan yang merusak pengalaman berwisata.

Ketidakteraturan tata kota ini berdampak langsung pada kondisi jalan. Lebar jalan di pusat kota Yogyakarta, terutama di kawasan cagar budaya, secara permanen tidak akan pernah mampu menampung volume kendaraan yang terus meningkat. Ironisnya, alih-alih membatasi penggunaan kendaraan pribadi, infrastruktur pendukung seolah memaksakan diri. Kemacetan kronis kini bukan lagi fenomena musiman, melainkan santapan harian. Wisatawan menghabiskan lebih banyak waktu terjebak dalam polusi dan kebisingan daripada menikmati objek wisata itu sendiri. Jalan-jalan protokol yang seharusnya menjadi urat nadi pariwisata justru berubah menjadi area parkir liar dan kemacetan yang menguras energi.

Di tengah carut-marutnya kondisi jalan, transportasi umum yang diharapkan menjadi penyelamat justru tampil loyo. TransJogja, sebagai satu-satunya harapan transportasi massal, masih jauh dari kata ideal. Jangkauan rute yang belum menyentuh seluruh titik destinasi populer, waktu tunggu yang tidak pasti, serta fasilitas halte yang banyak mengalami kerusakan menunjukkan bahwa pemerintah belum serius mengalihkan ketergantungan masyarakat dan wisatawan dari kendaraan pribadi. Kegagalan sistem transportasi umum ini menciptakan ketergantungan tinggi pada kendaraan berbasis aplikasi yang, meski membantu secara personal, tetap menyumbang beban kepadatan pada jalan raya yang sudah megap-megap.

Ketidaksiapan infrastruktur fisik kemudian berkelindan dengan krisis integritas di lapangan, yakni fenomena penjual yang tidak jujur atau yang populer dengan istilah nuthuk. Fenomena menaikkan harga secara tidak wajar, baik untuk makanan, parkir, maupun jasa transportasi tradisional seperti becak dan andong, telah menjadi borok yang merusak citra Yogyakarta. Praktik nuthuk adalah indikasi nyata bahwa sebagian masyarakat belum siap secara mental untuk menjadi tuan rumah yang profesional. Mereka lebih memilih keuntungan jangka pendek yang eksploitatif daripada membangun loyalitas wisatawan jangka panjang. Hal ini menciptakan rasa tidak aman dan ketidakpercayaan bagi pengunjung, yang pada akhirnya akan mencederai narasi keramahtamahan yang selama ini diagung-agungkan.

Mengapa praktik nuthuk dan kemacetan ini terus berulang? Jawabannya ada pada pengelola daerah, baik di tingkat kabupaten maupun kota, yang tampak gagap dalam menghadapi dinamika pariwisata. Ada kesan kuat bahwa koordinasi antarwilayah di Yogyakarta sangat lemah. Wisatawan tidak mengenal batas administratif antara Kota Yogyakarta, Sleman, atau Bantul, namun kebijakan yang diambil sering kali berjalan sendiri-sendiri tanpa sinkronisasi yang kuat. Ketegasan hukum terhadap oknum penjual nakal biasanya hanya muncul saat kasusnya viral di media sosial. Sifat reaktif ini menunjukkan bahwa manajemen pariwisata kita belum berbasis pada pencegahan dan sistem yang sistematis, melainkan hanya sekadar “pemadam kebakaran” saat api masalah sudah membesar.

Manajemen pariwisata di Yogyakarta masih terasa konvensional dan kurang inovatif dalam memecah kerumunan. Penumpukan massa di kawasan Malioboro dan sekitarnya adalah bukti kegagalan manajemen distribusi wisatawan. Pemerintah daerah seolah hanya fokus pada angka kunjungan (kuantitas) tanpa mempedulikan kualitas pengalaman wisatawan dan daya tampung lingkungan. Ketidaksiapan mengelola arus massa ini menciptakan situasi yang tidak manusiawi bagi wisatawan, di mana mereka harus berdesakan tanpa mendapatkan esensi dari keindahan budaya yang mereka cari.

Sektor swasta, khususnya melalui organisasi seperti PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia), juga memegang tanggung jawab besar yang belum sepenuhnya tertunaikan. Profesionalisme di industri perhotelan dan restoran masih sangat timpang. Sementara hotel berbintang mungkin telah memenuhi standar, banyak akomodasi menengah ke bawah dan rumah makan yang belum memenuhi syarat kelayakan pelayanan, kebersihan, dan transparansi harga.

Kurangnya sertifikasi kompetensi yang merata di kalangan pekerja pariwisata menunjukkan bahwa industri ini masih dikelola dengan pola pikir amatir. PHRI seharusnya menjadi garda terdepan dalam menetapkan standar kualitas, namun kehadirannya sering kali belum terasa signifikan dalam memberikan sanksi atau pembinaan bagi anggota yang melanggar kode etik profesionalisme pariwisata.

Dampak dari semua variabel ini adalah munculnya kejenuhan. Yogyakarta sedang mempertaruhkan kredibilitasnya. Jika pemerintah daerah terus gagap dalam menyusun kebijakan, jika tata kota terus dibiarkan semrawut tanpa kontrol, dan jika pelaku usaha tetap memelihara mentalitas “aji mumpung”, maka kejayaan pariwisata Yogyakarta hanya akan tinggal sejarah.

Kesiapan menerima wisatawan bukan hanya soal membangun gapura atau mempercantik trotoar dengan lampu-lampu ikonik, melainkan soal membangun ekosistem yang fungsional, jujur, dan berkelanjutan.

Yogyakarta membutuhkan revolusi manajemen pariwisata. Diperlukan keberanian politik dari pengelola daerah untuk membatasi pembangunan fisik yang merusak tata kota, ketegasan dalam menegakkan aturan transportasi, serta pengawasan yang ketat terhadap integritas pelaku usaha. Pariwisata yang sehat adalah pariwisata yang memberikan kesejahteraan bagi penduduk lokal tanpa harus “memeras” pengunjung, dan memberikan kenyamanan bagi pengunjung tanpa harus merusak tatanan kota. Jika perbaikan fundamental tidak segera dilakukan, maka Yogyakarta harus bersiap untuk ditinggalkan oleh mereka yang pernah mencintainya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *