Mencari Jawaban di Balik Redupnya Solidaritas Asia-Afrika

Oleh : Yudah Prakoso

Udara Bandung sore itu terasa sejuk, meskipun siangnya cukup cerah dan menenangkan (Jumat, 12/12). Saya dan Heni duduk di sebuah kedai kopi bergaya kolonial yang tak jauh dari Gedung Merdeka. Di meja kami, dua cangkir long black yang masih mengepul bersanding dengan sepiring pisang goreng hangat.

Heni menatap ke arah Jalan Asia Afrika yang mulai dipadati kendaraan, lalu mengalihkan pandangannya ke saya.

“Tahu tidak,” katanya sambil mengaduk kopinya pelan, “rasanya ajaib membayangkan di jalan ini, tahun 1955 dulu, pemimpin-pemimpin besar dunia berjalan kaki bersama dari Hotel Savoy Homann ke Gedung Merdeka. Tapi kenapa ya, setelah itu gaungnya seolah meredup?”

Saya tersenyum, lalu memperbaiki posisi duduk. “Sebenarnya tidak benar-benar hilang, Hen. Tapi memang ada benarnya kalau dibilang kelompok Asia-Afrika kehilangan momentum setelah Dekrit Presiden 1959.”

Saya menjelaskan kepadanya bahwa setelah Dekrit 1959, Indonesia masuk ke era Demokrasi Terpimpin. “Bung Karno berubah haluan,” lanjut saya. “Dulu di KAA 1955, temanya adalah Peaceful Coexistence, hidup berdampingan secara damai. Tapi setelah ’59, diplomasi kita jadi jauh lebih radikal.”

“Radikal bagaimana?” tanya Heni penasaran.

“Soekarno memperkenalkan konsep NEFO (New Emerging Forces) melawan OLDEFO (Old Established Forces). Fokusnya bukan lagi sekadar duduk bersama, tapi perjuangan revolusioner fisik melawan imperialisme. Contohnya ya konfrontasi dengan Malaysia dan pembebasan Irian Barat. Bagi negara lain di Asia-Afrika yang baru merdeka dan ingin tenang, gaya ini dianggap terlalu ekstrem.”

Heni mengangguk-angguk. “Lalu, bukannya tahun 1961 ada pertemuan besar lagi?”

“Betul, tapi itu namanya Gerakan Non-Blok (GNB) di Beograd,” jawab saya. “GNB ini ibarat ‘kakak’ yang menyerap energi KAA. Cakupannya lebih luas, merangkul Amerika Latin sampai Eropa Timur seperti Yugoslavia. Fokus khusus pada identitas ‘Asia-Afrika’ pun perlahan terpinggirkan karena wadahnya sudah jadi global.”

Sambil menikmati pisang gorengnya, Heni bertanya, “Apa negara-negaranya sendiri masih kompak?”

“Nah, itu masalah lainnya,” saya melanjutkan. “Tahun 60-an itu penuh konflik internal. Seperti misalnya Konflik Sino-India (1962): Tiongkok dan India perang di perbatasan. Padahal mereka tulang punggung KAA.

Kemudian perpecahan Sino-Soviet: Persaingan Uni Soviet dan Tiongkok juga bikin negara-negara Asia-Afrika terbelah jadi faksi-faksi. Solidaritas Bandung pun retak dari dalam.”

“Puncaknya adalah rencana KAA Kedua di Aljazair tahun 1965,” kata saya dengan nada sedikit menyayangkan. “Konferensi itu gagal total. Bayangkan, sesaat sebelum acara dimulai, ada kudeta militer yang menggulingkan Presiden Ben Bella. Ditambah lagi ada boikot karena masalah Malaysia dan Uni Soviet. Akhirnya, KAA Kedua tidak pernah terjadi.”

Heni menghela napas. “Mungkin mereka juga sibuk dengan urusan domestik ya?”.

“Iyaaaaa. Banyak negara baru merdeka yang justru sibuk dengan kudeta, krisis ekonomi, dan perang saudara. Diplomasi internasional jadi nomor sekian, yang penting perut rakyat kenyang dan negara stabil dulu.”

Matahari mulai tenggelam, menyisakan warna jingga di langit Bandung. Saya menutup obrolan kami dengan sebuah catatan optimistis.

“Jadi, kelompok Asia-Afrika itu tidak bubar, Hen. Mereka hanya terfragmentasi. Semangat Bandung tetap ada, tapi secara praktis digantikan oleh GNB atau organisasi regional seperti ASEAN. KAA baru benar-benar ‘bangun dari tidur’ saat peringatan ke-50 tahun 2005 lalu, ya di kota ini juga.”

Heni tersenyum, lalu mengangkat cangkir kopinya. “Setidaknya, sore ini kita sudah melakukan ‘Sinau Sejarah’ kecil-kecilan di tempat asalnya.”(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *