Yogyakarta – Dibalik indahnya untaian kata dalam novel, puisi, dan cerpen, nasib para penciptanya justru nyaris tak pernah menjadi perhatian serius bangsa ini. Karya sastra, yang sejatinya merupakan produk intelektual bangsa dan pilar pembentuk jiwa masyarakat, masih diperlakukan sebagai hiasan budaya belaka-bukan sebagai profesi yang layak dihargai.
Sastrawan Indonesia terpaksa hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Mereka menulis dari jiwa, tetapi untuk bertahan hidup, banyak yang harus melakoni profesi lain demi sesuap nasi. Mereka adalah pilar bangsa yang diabaikan.
Pemerintah pun didesak tidak lagi tinggal diam. Sudah saatnya perhatian dan penghargaan nyata diberikan untuk mendorong kemajuan industri kreatif di bidang sastra. Mulai dari pemberian hibah, peningkatan royalti, hingga pembelian karya oleh negara, menjadi langkah konkret yang bisa dilakukan.
Guru Besar Ilmu Sosiologi Sastra dari Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. Aprinus Salam, S.S., dengan lugas menyoroti kondisi getir para penulis sastra di Indonesia.
“Sastrawan di era sekarang ini bahkan sebelumnya tidak bisa sekadar bergantung pada honor menulis untuk bertahan hidup,” tegas Aprinus saat ditemui di kampus UGM, Senin (2/6).
Menurut Aprinus, sangat sedikit sastrawan yang bisa bertahan hanya dari karyanya. Mereka yang berhasil umumnya adalah yang mampu menembus syarat-syarat pasar.
“Tapi, memang tidak semua. Ada juga beberapa sastrawan yang sukses dari berkarya, terutama ketika penulis sastra tersebut mampu menembus syarat-syarat komersial sehingga karya sastranya bisa menghasilkan uang cukup,” ujarnya.
Namun, kata “komersial” dalam dunia sastra adalah ladang berduri. Tidak semua karya bisa atau harus disesuaikan dengan selera pasar. Sastrawan sejati sering kali menulis untuk mengkritik, mencerminkan realitas, bahkan mengguncang nilai yang mapan.
“Kadang kita tidak tahu karya seperti apa nanti atau beberapa tahun ke depan yang laku di pasaran seperti apa,” jelas Aprinus.
Aprinus menyebut tantangan terbesar yang menjadikan sastra tak kunjung menjadi jalan hidup yang layak:
- Rendahnya penghargaan pemerintah dan masyarakat terhadap karya sastra.
- Anggapan keliru bahwa sastra hanyalah fiksi dan imajinasi yang tak penting.
- Sastrawan harus menulis karya yang bagus sehingga bisa “mengganggu” atau “mengintervensi” pengetahuan umum sastra.
“Dulu, negara menganggap penting karya sastra itu, yakni dengan adanya beberapa karya sastra yang dilarang. Itu artinya, sastra penting. Gara-gara dilarang, justru bukunya jadi laku. Tapi itu juga tidak mengangkat ekonomi sastrawan jika royalti buat pengarang masih sangat kecil,” ungkapnya.
Aprinus menegaskan bahwa solusi bagi dunia sastra bukanlah wacana atau seremoni kosong. Ada langkah konkret yang bisa dilakukan:
- Pemerintah membeli karya sastra yang bermutu dengan harga pantas.
- Royalti bagi penulis diperbesar dan dibuat transparan.
- Hibah kreatif diberikan secara berkelanjutan.
- Keterlibatan donatur atau patron budaya untuk menopang sastrawan yang berdedikasi.
“Jadi, sastrawan tersebut tidak harus memikirkan ekonomi keluarganya. Tapi, kayaknya ini sulit. Kembali ke soal masih rendahnya penghargaan terhadap karya sastra,” tuturnya, getir.
Aprinus berharap pemerintah benar-benar mengambil langkah nyata dalam 5-10 tahun ke depan untuk menjamin masa depan sastra Indonesia.
“Keunggulan suatu bangsa dapat dilihat apa sastranya juga unggul. Karya yang unggul tentu perlu dukungan semua pihak,” pungkasnya. (Yud)