Yogyakarta – Praktik penyelundupan satwa liar di Indonesia bukanlah hal baru. Menurut catatan akademisi, aktivitas ini sudah berlangsung sejak lebih dari 30 tahun lalu. Bahkan, tren penyelundupan orangutan meningkat tajam setelah krisis moneter 1998, ketika banyak masyarakat mencari jalan pintas untuk bertahan hidup dengan menjual satwa dilindungi.
Guru Besar Bidang Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus pengamat satwa liar, Prof. Dr. drh. Raden Wisnu Nurcahyo, menegaskan bahwa praktik perdagangan satwa liar, termasuk orangutan, bukan hanya melanggar hukum tetapi juga mengancam keseimbangan ekosistem hutan.
Faktor Ekonomi Pendorong Utama
Wisnu menjelaskan, kesulitan ekonomi seringkali membuat masyarakat menganggap satwa liar sebagai sumber penghasilan alternatif. Orangutan, misalnya, dapat dijual dengan harga tinggi di pasar ilegal. “Situasi inilah yang membuat praktik penyelundupan satwa liar terus terjadi hingga kini,” ujarnya, Selasa (2/9).
Selain faktor ekonomi, lemahnya pengawasan jalur distribusi juga menjadi kendala. Para pelaku kerap memanfaatkan jalur tikus yang sulit terdeteksi, sehingga penegakan hukum kerap menemui hambatan. Wisnu menilai solusi harus lebih komprehensif, bukan sekadar penindakan hukum, tetapi juga pemberdayaan ekonomi masyarakat agar tidak bergantung pada hasil tangkapan satwa.
Orangutan, Penjaga Alam Hutan
Wisnu menekankan pentingnya keberadaan orangutan sebagai satwa kunci ekosistem. Kebiasaannya mengonsumsi buah berperan dalam penyebaran biji tanaman melalui feses, yang kemudian tumbuh menjadi tunas baru. “Orangutan berperan menjaga regenerasi alami hutan. Jika populasinya hilang, fungsi ini juga akan hilang,” paparnya.
Namun, populasi orangutan terus terdesak akibat berkurangnya hutan primer karena kebakaran, pembalakan, hingga alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit atau hutan industri. Kondisi ini semakin meningkatkan risiko kerusakan ekosistem dan memperburuk perubahan iklim.
Evaluasi Program Konservasi
Wisnu mengapresiasi strategi pemerintah melalui Rencana Aksi Konservasi Orangutan. Namun, ia menilai implementasi masih jauh dari optimal. Masalah utama ada pada minimnya SDM patroli, terbatasnya dana rehabilitasi, dan lemahnya penegakan hukum. “Sanksi masih terlalu ringan. Perlu revisi regulasi agar hukuman penjara lebih lama dan denda lebih berat, disertai aparat yang berintegritas,” tegasnya.
Di tingkat regional, kerja sama ASEAN sudah ada dalam upaya memerangi perdagangan satwa ilegal. Namun, Wisnu menyoroti sebagian besar konservasi masih ditopang oleh LSM atau lembaga asing, sementara kesadaran masyarakat dalam negeri masih rendah.
Rekomendasi Solusi dan Peran Generasi Muda
Sebagai langkah konkret, Wisnu merekomendasikan perlindungan kawasan hutan, peningkatan anggaran konservasi, pembangunan pusat rehabilitasi orangutan di beberapa wilayah, serta penguatan sanksi hukum.
Ia juga menekankan pentingnya melibatkan generasi muda dalam riset, pendidikan, dan pengabdian masyarakat. “Di UGM sudah ada kelompok mahasiswa yang bergerak di bidang konservasi satwa, seperti Kelompok Studi Satwa Liar FKH dan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan. Gerakan ini harus diperluas agar lahir kesadaran kolektif menjaga orangutan sebagai warisan bangsa,” pungkasnya. (Yud)