Yogyakarta – Persoalan hak cipta, khususnya tarif pembayaran royalti atas lagu dan musik, tengah menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Guru besar, akademisi internasional, pejabat pemerintah, hingga musisi sepakat bahwa tata kelola royalti perlu diperkuat agar adil, transparan, dan memberi manfaat nyata bagi para pencipta.
Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. M. Hawin, menegaskan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagai badan hukum harus menjalankan prinsip business judgment rule dalam mengelola royalti. “Akuntabilitas dan tata kelola yang baik adalah kunci agar LMK dapat menjalankan amanahnya tanpa menimbulkan sengketa hukum di kemudian hari,” ujarnya dalam Seminar Nasional bertajuk Mengurai Problematika Perlindungan Hak Cipta: Royalti dan Peranan LMK di Fakultas Hukum UGM, Selasa (23/9).
Prof. David Price dari Charles Darwin University, Australia, membandingkan sistem pengelolaan royalti di berbagai negara. Ia menekankan pentingnya standar minimum bagi platform musik, mekanisme takedown yang efisien, sanksi tegas, serta klaim sederhana agar pemegang hak cipta lebih mudah menuntut pelanggaran.
Wakil Dekan Fakultas Hukum UGM, Dr. Heribertus Jaka Triyana, menekankan perlunya sinergi antara akademisi, praktisi, pemerintah, dan pelaku industri untuk mewujudkan sistem royalti yang adil.
“Fakultas Hukum UGM berkontribusi untuk mengurai dan memetakan untuk pembangunan hukum nasional kita kedepannya terkait hak cipta ini,” ujarnya.
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan bahwa regulasi terbaru melalui Permenkumham No. 27 Tahun 2025 akan memastikan hak ekonomi seniman terlindungi. “Kita ingin aturan ini benar-benar memberikan manfaat nyata bagi kesejahteraan para seniman,” katanya.
Suara dari Seniman dan Legislator
Once Mekel, musisi sekaligus anggota Komisi X DPR RI, menyoroti lemahnya sistem pemungutan royalti yang sudah berlangsung selama 34 tahun. Menurutnya, diperlukan reformasi LMK dan LMKN agar lebih profesional dan transparan.
“Dua pilihan strategis yang bisa kita lakukan adalah dengan memperkuat LMKN dengan menjadikannya pusat pemungutan, dan membatasi LMK dengan berfokus sebagai pendata dan representasi anggota saja,” ujar Once.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menjelaskan bahwa pemerintah melalui Pusat Data Lagu/Musik Nasional (PDLN) berupaya meningkatkan transparansi dalam pencatatan karya dan distribusi royalti. Namun, tantangan masih ada: skema tarif royalti yang belum adil, rendahnya kepatuhan pengguna usaha, serta perlunya sistem distribusi berbasis data digital.
“Tantangan kami berada di skema tarif royalti yang belum adil, rendahnya tingkat kepatuhan pengguna usaha rendah, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan royalti, serta sistem distribusi modern berbasis data digital,” jelas Agung. (Yud)