Bantul – Penantian panjang selama lebih dari delapan dekade akhirnya terbayar. Sebanyak 811 sertifikat hasil konsolidasi tanah tutupan zaman Jepang resmi diserahkan kepada warga Parangtritis, Bantul, oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, dalam sebuah seremoni bersejarah di Balai Desa Parangtritis, Sabtu (11/5).
Dalam kesempatan tersebut, Nusron menjelaskan pentingnya program konsolidasi tanah sebagai bentuk rekayasa tata ruang yang berpihak pada kepentingan rakyat. Tanah-tanah yang sebelumnya tertutup akses dan tidak bermanfaat kini memiliki legalitas dan bisa diakses serta dimanfaatkan masyarakat.
“Ini penyerahan sertifikat hasil konsolidasi tanah tutupan Jaman Jepang, konsolidasi tanah itu adalah merekayasa tanah yang dulunya tidak bermanfaat, tertutup akses atau apa, diotak atik sama Pak Bupati bagaimana caranya kemudian ada aksesnya dan kemudian bisa dinikmati masyarakat,” kata Nusron usai penyerahan sertifikat.
Total luas lahan yang dikonsolidasikan mencapai 70 hektare, termasuk di dalamnya 17 hektare fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum dan fasos). Fasum dan fasos tersebut disiapkan untuk dibangun berbagai sarana seperti jalan, sekolah, masjid, lapangan olahraga, maupun ruang terbuka hijau.
“Nah fasum dan fasos nanti kalau dibangun apa, apakah jalan atau sekolahan, atau masjid apa tempat bermain, lapangan olahraga semua diserahkan sama warga, dan tentunya akan rembugan dengan Pak Bupati Bantul,” lanjut Nusron.
Namun, Nusron menegaskan bahwa pemanfaatan lahan fasum dan fasos harus melalui mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di tingkat kecamatan dan kabupaten.
“Kan ada mekanisme melalui forum yang namanya musrenbang, jadi biar dibawa ke musrenbang tingkat kecamatan dan musrenbang tingkat kabupaten,” katanya.
Direktur Jenderal Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan Kementerian ATR/BPN, Embun Sari, menambahkan bahwa tanah-tanah tersebut dulunya dikenal masyarakat sebagai “tanah tutupan Jepang”, lahan yang digunakan oleh tentara Jepang selama masa pendudukan tahun 1943 hingga 1945 untuk keperluan pertahanan.
“Akhirnya penantian masyarakat sejak tahun 1943 membuahkan sertifikat hasil Konsolidasi Tanah, ini sudah terbit 811 bidang ya, yang diserahkan langsung oleh Pak Menteri Nusron,” kata Embun.
Menurut Embun, wilayah ini kini telah ditata ulang dengan pembagian yang jelas untuk berbagai fungsi, baik pertanian, permukiman, maupun fasilitas umum. Penataan ulang ini menjadi bagian penting dari pemerataan pembangunan yang berkelanjutan.
“Jadi tanah itu sekarang sudah ditata kembali, mau itu lahan pertanian atau nonpertanian. Kalau di sini komplit, ada pertaniannya, ada non pertaniannya, permukimannya ditata. Yang mana untuk pertanian, yang mana untuk rumah penduduk, rumah tempat tinggal, kemudian juga fasilitas sosial dan fasilitas umumnya,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa keberhasilan konsolidasi tanah ini tidak terlepas dari dukungan aktif pemerintah daerah, yang telah bersinergi erat dengan pemerintah pusat demi mewujudkan program ini secara menyeluruh dan partisipatif.
Penyerahan sertifikat ini bukan hanya soal legalitas, tetapi juga simbol rekonsiliasi sejarah dan pemberdayaan masyarakat atas haknya yang selama ini terpendam. Konsolidasi tanah tutupan Jepang menjadi bukti nyata bahwa negara hadir memberikan kepastian hukum atas tanah dan membuka akses pemanfaatan ruang yang berkeadilan. (Ep)