Petani Kian Menyusut, Pertanian modern Menjadi Solusinya

Yogyakarta – Indonesia tengah menghadapi dua tantangan besar dalam sektor pertanian: krisis regenerasi petani dan menyusutnya lahan produktif. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan signifikan dalam jumlah usaha pertanian perorangan sejak tahun 2013.

Pada 2013, jumlah petani di Indonesia tercatat mencapai 31,70 juta orang. Namun, angka itu terus merosot hingga pada 2023 hanya menyisakan 29,34 juta petani—turun 7,45 persen dalam satu dekade. Situasi ini bahkan lebih memprihatinkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di mana terjadi penurunan sebesar 26,26 persen atau sekitar 153 ribu petani yang meninggalkan sektor pertanian.

Alih Fungsi Lahan dan Usia Petani Jadi Masalah Klasik

Dosen Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Bayu Dwi Apri Nugroho, S.T.P., M.Agr., Ph.D., mengungkapkan bahwa hampir seluruh wilayah di Indonesia saat ini mengalami penurunan produktivitas pertanian, baik dari sisi ketersediaan lahan maupun jumlah pelaku pertanian.

“Kita tahu bahwa alih fungsi lahan sangat cepat, apalagi di wilayah Jawa. Begitu juga untuk petani, rata-rata usia petani di Indonesia adalah 50 tahun, sehingga memang harus dilakukan regenerasi. Kalau tidak, bagaimana nanti 10–20 tahun yang akan datang?” ujarnya, Senin (30/6/2025).

Menurut Bayu, konversi lahan menjadi kawasan industri dan pemukiman menjadi salah satu penyebab utama menyusutnya aktivitas pertanian. Namun demikian, faktor persepsi negatif terhadap profesi petani juga tidak bisa diabaikan.

“Pertanian dianggap sebagai profesi yang kurang menarik, konvensional, dan tidak cukup produktif untuk meningkatkan kesejahteraan. Pemerintah perlu mengubah mindset tersebut,” tegasnya.

Membumikan Pertanian Modern Sejak Dini

Bayu menekankan pentingnya mengenalkan pertanian sebagai profesi modern yang berbasis teknologi dan inovasi. Menurutnya, pendekatan ini sebaiknya dilakukan sejak usia dini, bahkan bisa dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dasar.

“Salah satunya adalah kita mengenalkan teknologi dan inovasi di pertanian sejak bangku sekolah dasar. Kita berikan pemahaman bahwa pertanian bisa modern dan bisa membuat sejahtera,” katanya.

Ia menambahkan, program “petani milenial” yang selama ini digaungkan pemerintah sebaiknya tidak hanya dijadikan slogan atau proyek sementara, tetapi benar-benar terintegrasi dalam sistem pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.

“Secara jangka pendek, memberikan contoh dengan piloting atau percontohan bahwa teknologi bisa menguntungkan dan membuat sejahtera adalah kunci utama menarik minat anak-anak muda terjun ke dunia pertanian,” jelas Bayu.

Dalam jangka panjang, Bayu mendorong agar pendidikan mengenai teknologi pertanian dilakukan sejak usia dini, dari taman kanak-kanak hingga SMA. Ia menyarankan agar generasi muda dikenalkan pada penggunaan teknologi seperti drone, aplikasi pertanian digital, hingga sistem irigasi pintar.

“Kita bisa mengenalkan penggunaan drone, sehingga akan memunculkan ketertarikan dari anak-anak muda ke dunia pertanian,” tuturnya.

Bayu juga mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk menciptakan sistem pertanian dan distribusi pangan yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

“Artinya diperkuat ekosistem-ekosistem yang mengintegrasikan dari hulu ke hilir, yang menjamin ketersediaan dan juga kestabilan harga yang menguntungkan petani,” pungkasnya.

Dengan kombinasi pendekatan edukatif, inovatif, dan dukungan kebijakan terintegrasi, krisis regenerasi petani di Indonesia masih bisa dicegah, selama semua pihak bergerak cepat dan konsisten dalam mengembangkan sektor vital ini. (Yud)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *