Reformasi DPR Hanya Kosmetik, Tanpa RUU Perampasan Aset

“Koruptor itu tidak takut mati, koruptor itu hanya takut miskin,”

Yogyakarta – Langkah pemotongan tunjangan hingga penonaktifan anggota DPR dinilai hanya solusi sementara. Akademisi UGM menegaskan bahwa kunci reformasi parlemen ada pada perubahan sistemik, termasuk pengesahan RUU Perampasan Aset.

Akademisi Fisipol UGM, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, S.IP., M.A., menegaskan perlunya reformasi parlemen yang lebih mendasar dan sistemik.

“Kita butuh sesuatu yang beyond dari itu, sesuatu yang jangka panjang dan menyasar pada perubahan sistemik,” ujarnya, Senin (1/9).

RUU Perampasan Aset Jadi Prioritas

Menurut Alfath, DPR dan pemerintah harus segera menuntaskan Rancangan Undang-Undang yang benar-benar dibutuhkan publik, terutama RUU Perampasan Aset.

RUU ini dinilai menjadi instrumen penting untuk menutup ruang gerak koruptor yang selama ini leluasa menyalahgunakan kekuasaan.

“Koruptor itu tidak takut mati, koruptor itu hanya takut miskin,” tegas Alfath.

Tanpa perangkat hukum tegas, ia meyakini praktik korupsi akan terus berulang dan menimbulkan krisis kepercayaan publik.

Hambatan dari Partai Politik

Lebih jauh, Alfath menilai akar masalah justru berada pada partai politik. Selama anggota legislatif bergantung penuh pada ketua umum, maka reformasi hanya akan berjalan di tempat.

Ia menyoroti praktik oligarki partai yang menyerupai perusahaan keluarga, di mana pewarisan kepemimpinan bersifat eksklusif. Hal ini, menurutnya, menutup kesempatan bagi kader potensial di luar lingkaran elite untuk berperan.

“Sasaran utama reformasi justru harus dimulai dari ketua umum partai politik,” jelasnya.

Selain menyoroti elite partai, Alfath menekankan perlunya pengawasan publik yang lebih kuat. Audit sosial menjadi salah satu cara yang efektif untuk memastikan DPR bekerja sesuai mandat rakyat.

Praktik ini telah terbukti berhasil di berbagai negara demokrasi mapan, sekaligus memperkuat rasa kepemilikan masyarakat terhadap proses legislasi.

“Sudah seharusnya setiap kebijakan yang diambil DPR merefleksikan kebutuhan masyarakat itu sendiri,” ujarnya.

Indikator Reformasi dan Transparansi

Menurut Alfath, keberhasilan reformasi parlemen tidak cukup diukur dari jumlah regulasi yang disahkan. Tolok ukur sejati adalah dampak nyata kebijakan terhadap kehidupan rakyat.

Transparansi sidang, akses publik terhadap dokumen legislasi, hingga evaluasi berkelanjutan dinilai krusial untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat.

“Produktivitas regulasi harus benar-benar berdampak, bukan sekadar aturan di atas kertas,” ungkapnya.

Empati sebagai Kunci

Sebagai penutup, Alfath menegaskan bahwa pejabat publik harus berhenti mempertontonkan kemewahan di tengah kesulitan rakyat. Reformasi harus menyentuh empati dan integritas.

“Kita harus lebih banyak berempati pada persoalan kepublikan, sekaligus memastikan pejabat bekerja untuk kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya. (Yud)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *