Takhta yang Diperebutkan: Dua Putra PB XIII Sama-Sama Dikukuhkan sebagai PB XIV

Surakarta – Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memasuki fase politik yang menegangkan dalam satu dekade terakhir. Dua putra mendiang Paku Buwono (PB) XIII yaitu KGPH Purbaya dan KGPH Mangkubumi, masing-masing dikukuhkan sebagai raja baru dengan gelar yang sama: Paku Buwono XIV. Situasi ini menciptakan dualisme kepemimpinan yang memicu spekulasi mengenai legitimasi, arah kebijakan budaya, hingga stabilitas internal keraton.

Perebutan gelar PB XIV berakar pada perbedaan pandangan mengenai siapa pewaris sah almarhum Pakubuwono XIII (PB XIII). Dalam struktur keluarga, KGPH Mangkubumi atau Hangabehi merupakan putra tertua PB XIII dari pernikahannya yang kedua dengan Winari Sri Haryani atau KRAy Winari. Sedangkan KGPAA Hamangkunegoro atau KGPH Purbaya merupakan putra bungsu dari pernikahan PB XIII yang ketiga dengan Asih Winarni atau GKR Paku Buwono. Perbedaan garis hubungan inilah yang menjadi salah satu dasar perebutan legitimasi suksesi.

Purbaya Bergerak Cepat: Jumenengan Kilat dan Pembentukan Kabinet Baru

KGPH Purbaya menjadi pihak pertama yang mengambil langkah politik signifikan setelah wafatnya PB XIII pada 5 November 2025. Ia menggelar upacara jumenengan PB XIV pada 15 November, hanya beberapa hari setelah prosesi pemakaman.

Upacara tersebut dilakukan tertutup di Ndalem Ageng, Keraton Solo. Tidak ada pementasan Tari Bedhaya Ketawang, namun unsur kesakralan tetap dijaga dengan pembacaan Sabda Dalem di Watu Gilang Siti Hinggil.

Juru bicara keraton, GKR Timoer Rumbaikusuma Dewayani, menyebut Purbaya menegaskan komitmennya dalam Sabda Dalem.

“Sinuhun berjanji membuat keraton lebih baik, tetap bersama Negara Indonesia, dan memajukan Keraton Surakarta.”

Dua hari setelah jumenengan, Purbaya menaikkan gelar lima tokoh terdekatnya, termasuk tiga kakak perempuannya. Langkah itu dinilai sebagai konsolidasi internal sekaligus penguatan dukungan politik.

Puncak manuver Purbaya terjadi pada 19 November ketika ia membentuk bebadan (kabinet keraton). Struktur ini menggabungkan unsur tradisional, akademik, dan profesional.

Juru Bicara Raja, KPA Singonagoro, menyebut kabinet itu sebagai modernisasi tata kelola keraton.

“Sang Raja ingin menghadirkan keraton yang lebih tertata, profesional, dan mampu menjawab tantangan zaman.”

Purbaya menyatakan semua langkahnya dilakukan dengan pertimbangan moral.

“Setiap generasi punya waktunya. Kalau niatnya baik, hasilnya baik.”

Mangkubumi Membalas: Dikukuhkan Sebagai PB XIV, tetapi Pilih Fokus Berkabung

Berbeda dengan Purbaya yang agresif, KGPH Mangkubumi mengambil pendekatan politik yang jauh lebih berhati-hati. Melalui rapat kerabat yang dipimpin Maha Menteri Keraton, KGPA Tedjowulan, Mangkubumi dikukuhkan sebagai PB XIV versi kubu keluarga inti PB XIII. Prosesi itu disaksikan adik-adik PB XIII dan sejumlah sentana dalem.

Salah satu tokoh yang hadir, Gusti Moeng, menegaskan bahwa pengangkatan Mangkubumi berlandaskan paugeran (aturan) keraton mengenai suksesi.

“Gusti Bei yang kini PB XIV tidak meminta untuk dilahirkan lebih tua. Itu kehendak Allah.”

Namun, berbeda dari Purbaya, Mangkubumi memilih tidak langsung jumenengan dan fokus pada masa berkabung 40 hari.

“(Jumenengan) belum tahu. Ini masih masa berkabung, kami fokus ibadah,” ujarnya singkat.

Ketika ditanya mengenai respon atas pembentukan kabinet oleh Purbaya, Mangkubumi enggan menanggapi.

“Belum ingin berkomentar. Fokus ibadah saja.”

Jawaban singkat lainnya menggambarkan sikap politik yang masih menunggu momentum.

“Belum,” katanya ketika ditanya soal langkah strategis.

Dua PB XIV, Satu Keraton: Masa Depan Tata Kelola Keraton Dipertaruhkan

Dualisme kepemimpinan di Keraton Solo bukan hanya persoalan simbol tradisi, tetapi juga berdampak pada administrasi kebudayaan, pengelolaan aset, hubungan dengan pemerintah, hingga legitimasi publik.

Dua kubu yang saling memegang dasar legitimasi, kubu Purbaya dengan legitimasi tindakan dan konsolidasi cepat, dan kubu Mangkubumi dengan legitimasi paugeran dan dukungan keluarga inti berpotensi mendorong konflik berkepanjangan jika tidak ada mediasi.

Pemerhati budaya Jawa menilai situasi ini sebagai momen krusial yang akan menentukan arah Keraton Solo di masa depan, apakah menuju rekonsiliasi atau membiarkan dualisme berlarut-larut. (Yud)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *