Yogyakarta – Wakaf kini tidak lagi sekadar identik dengan tanah makam atau masjid. Dalam forum Bulaksumur Roundtable yang digelar di Universitas Gadjah Mada, gagasan wakaf hutan digaungkan sebagai salah satu solusi konkret pembiayaan jangka panjang untuk menghadapi krisis iklim.
Melalui inisiatif dari MOSAIC (Movement for Sustainable and Inclusive Climate Action), program Wakaf Hutan dihadirkan sebagai bagian dari ikhtiar memadukan nilai-nilai Islam dengan aksi nyata pelestarian lingkungan. “Kelebihan wakaf yakni bisa pembiayaan lingkungan jangka panjang, artinya apa? Abadi,” ungkap Ahmad Akbar Susamto, akademisi FEB UGM, menekankan kekuatan wakaf sebagai instrumen keberlanjutan.
Tak hanya itu, MOSAIC juga memperkenalkan program Sedekah Energi untuk solarisasi masjid sebagai langkah konkret transisi energi. “Kami punya tagline climate islamic movement. Sebuah upaya kolaboratif untuk mendorong umat menjadi garda depan dalam krisis iklim,” jelas Nur Hasan Murtiaji, Ketua MOSAIC.
Dana Umat untuk Aksi Iklim
Forum ini mempertemukan berbagai pengelola dana umat seperti Badan Wakaf Indonesia (BWI), Baznas, Dompet Dhuafa, dan Rumah Zakat, bersama lembaga pemerintah seperti OJK, KNEKS, dan Bank Syariah Indonesia (BSI). Diskusi menyoroti potensi besar zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf) dalam mendorong aksi iklim.
Salah satu instrumen unggulan yang dibahas adalah Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) dari KNEKS. Melalui CWLS, masyarakat dapat berwakaf dalam bentuk tunai untuk mendanai proyek-proyek hijau. “Ternyata hasil 50% banyak dari generasi milenial dan Gen Z,” ujar Dwi Irianti Hadiningdyah, Direktur Keuangan Sosial Syariah KNEKS.
Senada, OJK juga mendukung upaya ini dengan meluncurkan green sukuk ritel, yang telah menyalurkan pembiayaan hijau lebih dari Rp40 triliun selama enam tahun terakhir. “Yang sustainable finance yang lain itu sudah penerbitan selama 6 tahun terakhir sekitar 40T, terbesarnya green bond sukuk,” jelas Abdul Rahmat dari OJK.
Meski potensinya besar, implementasi wakaf untuk pembiayaan iklim tak lepas dari tantangan. Persoalan perizinan aset wakaf, keterbatasan pengelolaan produktif, hingga belum adanya lembaga pendidikan formal untuk membekali nazir (pengelola wakaf) menjadi pengelola dana profesional, masih menjadi hambatan.
“Persoalannya, nazhir wakaf dituntut memiliki kapasitas seperti manajer investasi, tetapi belum ada sistem pelatihan formal untuk itu,” ujar salah satu peserta forum.
Tantangan lain adalah rendahnya literasi dan kesadaran publik terhadap wakaf sebagai solusi iklim. Irvan Nugraha, CEO Rumah Zakat, menyampaikan bahwa program edukasi perubahan iklim kini mulai disisipkan ke dalam program zakat. “Pendidikan tentang pemahaman terkait dengan perubahan iklim ini kita sampaikan ke lingkungan keluarga dengan berbagai program,” ucapnya.
Forum ini juga menjadi tonggak kerja sama antara FISIPOL UGM dan MOSAIC. Keduanya menandatangani MoU untuk mendorong riset, edukasi, dan kampanye isu iklim yang inklusif dan partisipatif berbasis nilai Islam.
Abdul Gaffar Karim, Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan UGM dan Dewan Pembina MOSAIC menegaskan, “Semakin banyak yang bekerja sama semakin baik hasilnya, semakin banyak yang berpikir, semakin strategis hasilnya.”
Sementara itu, Dekan FISIPOL UGM, Dr. Wawan Mas’udi, menambahkan, “Kami coba dorong ke fakultas untuk memperkuat kajian terhadap tantangan-tantangan ini, karena Indonesia berada di pusat dinamika kebijakan.”
Sebagai penutup, forum merumuskan pentingnya membangun ekosistem kolaboratif pembiayaan iklim berbasis Islam—dengan menghubungkan pengelola dana umat dan lembaga negara—demi pembiayaan krisis iklim yang berkelanjutan, adil, dan berbasis nilai keumatan. (Yud)